Thursday, March 8, 2012

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Berbicara tentang berbakti kepada orang tua tidak lepas dari permasalahan berbuat baik dan mendurhakainya. Mungkin, sebagian orang merasa lebih ‘tertusuk’ hatinya bila disebut ‘anak durhaka’, ketimbang digelari ‘hamba durhaka’. Bisa jadi, itu karena ‘kedurhakaan’ terhadap Allah, lebih bernuansa abstrak, dan kebanyakannya, hanya diketahui oleh si pelaku dan Allah saja. Lain halnya dengan kedurhakaan terhadap orang tua, yang jelas amat kelihatan, gampang dideteksi, diperiksa dan ditelaah,sehingga lebih mudah mengubah sosok pelakunya di tengah masyarakat, dari status sebagai orang baik menjadi orang jahat.

Pola berpikir seperti itu, jelas tidak benar, karena Allah menegaskan dalam firman-Nya, (yang artinya) :

Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)

Penghambaan diri kepada Allah, jelas harus lebih diutamakan. Karena manusia diciptakan memang hanya untuk tujuan itu. Namun, ketika Allah ‘menggandengkan’ antara kewajibanmenghamba kepada-Nya, dengan kewajiban berbakti kepada orang tua, hal itu menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua memang memiliki tingkat urgensi yang demikian tinggi, dalam Islam. Kewajiban itu demikian ditekankan, sampai-sampai Allah menggandengkannya dengan kewajiban menyempurnakan ibadah kepada-Nya.

Urgensi Berbakti kepada Dua orang Tua

Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam wacana Islam- adalah persoalan utama, dalam jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah sudah cukup mengentalkan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut adalah sebagai berikut:

1. Allah ‘menggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua:

Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)

2. Allah memerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir:

Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti; namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15)

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..[1]

3. Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.

Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

4. Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim)

Beliau juga pernah bersabda:

Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni pintu terbaik.

5. Keridhaan Allah, berada di balik keridhaan orang tua.

Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua[2].”

6. Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.

Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?” Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.

Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua adalah amal ibadah yang paling utama.

7. Berbakti kepada orang tua, membantu menolak musibah.

Hal itu dapat dipahami melalui kisah ‘tiga orang’ yang terkurung dalam sebuah gua. Masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebutkan satu amalan yang dianggapnya terbaik dalam hidupnya, agar menjadi wasilah (sarana) terkabulnya doa. Salah seorang di antara mereka bertiga, mengisahkan tentang salah satu perbuatan baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang akhirnya, menyebabkan pintu gua terkuak, batu yang menutupi pintunya bergeser, sehingga mereka bisa keluar dari gua tersebut. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)

8. Berbakti kepada orang tua, dapat memperluas rezki.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (Al-Bukhari dan Muslim)

Berbakti kepada kedua orang tua adalah bentuk aplikasi silaturahim yang paling afdhal yang bisa dilakukan seorang muslim, karena keduanya adalah orang terdekat dengan kehidupannya.

9. Doa orang tua selalu lebih mustajab.

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga bentuk doa yang amat mustajab, tidak diragukan lagi: Doa orang tua untuk anaknya, doa seorang musafir dan orang yang yang terzhalimi.

10. Harta anak adalah milik orang tuanya.

Saat ada seorang anak mengadu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah! Ayahku telah merampas hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan juga hartamu, kesemuanya adalah milik ayahmu[3].”

11. Jasa orang tua, tidak mungkin terbalas.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

Seorang anak tidak akan bisa membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai budak, lalu dia merdekakan.” (Dikeluarkan oleh Muslim)

12. Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.

Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mau, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (Al-Bukhari dan Muslim)

13. Orang yang durhaka terhadap orang tua, akan mendapatkan balasan ‘cepat’ di dunia, selain ancaman siksa di akhirat[4].

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada dua bentuk perbuatan dosa yang pasti mendapatkan hukuman awal di dunia: Memberontak terhadap pemerintahan Islam yang sah, dan durhaka terhadab orang tua[5].”

Alhamdulillah. Kesemua bukti tersebut –dan masih banyak lagi bukti-bukti ilmiah lainnya, termasuk konsensus umat Islam terhadap urgensi berbakti kepada orang tua yang sama sekali tidak boleh terabaikan–, kesemuanya, menunjukkan betapa bakti kepada orang tua adalah kebajikan maha penting, bahkan yang terpenting dari sekian banyak perbuatan baik yang diperuntukkan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah. Sedemikian pentingnya, hingga riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang adab, prilaku dan sikap seorang anak terhadap orang tuanya, bertaburan dalam banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahkan juga dalam beberapa ayat Al-Qur’an.

Memuliakan Orang Tua

Pemuliaan Islam terhadap sosok orang tua, amat lugas. Wujud pemuliaan itu sudah beberapa langkah mendahului gemuruh propaganda sejenis, yang baru-baru saja muncul belakangan ini, dari kalangan Barat. Sebut saja contohnya: jaminan untuk kaum manula, perhatian terhadap kaum jompo dan lain sebagainya. Kenapa demikian? Karena Islam sudah jauh-jauh hari langsung menghadirkan ‘perintah tegas’ bagi seorang mukmin, untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Telah kami pesankan seorang manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (Al-Ahqaaf : 15)

Ibnu Katsier menjelaskan, “Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus juga melimpahkan kasih sayang kita kepada mereka[6].”

Beribadahlah kepada Allah, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisaa : 36)

Perintah itu, bahkan diseiringkan dengan perintah untukmengesakan Allah sebagai kewajiban utama seorang mukmin. Sehingga amatlah jelas, perintah itu mengandung ‘tekanan’ yang demikian kuat.

Sekarang, bandingkanlah substansi ajaran Islam itu dengan realitas yang berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia sekarang ini. Banyak anak yang enggan menyisihkan sebagian waktunya, mengucurkan keringat atau sekadar berlelah-lelah sedikit, untuk merawat orang tuanya yang sudah ‘uzur’. Terutama sekali, bila anak tersebut sudah berkedudukan tinggi, sangat sibuk dan punya segudang aktivitas. Akhirnya, ia merasa sudah berbuat segalanya dengan mengeluarkan biaya secukupnya, lalu memasukkan si orang tua ke panti jompo!!

Berbuat Baik Kepada Orang Tua

..dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)

Berbuat baik dalam katagori umum, dalam bahasa Arabnya disebut ihsaan. Sementara bila ditujukan secara khusus kepada orang tua, lebih dikenal dengan istilah birr. Dalam segala bentuk hubungan interaktif, Islam sangatlah menganjurkan ihsan atau kebaikan.

“Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan, untuk dilakukan dalam segala hal. Bila kalian membunuh, lakukanlah dengan cara yang baik. Bila kalian menyembelih hewan, lakukanlah dengan cara baik. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim menyiapkan pisau yang tajam, dan upayakan agar hewan sembelihan itu merasa lebih nyaman[7].”

Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan, “Allah berpesan agar setiap orang melakukan bakti kepada orang tua dengan berbagai bentuk perbuatan baik. Namun kepada selain orang tua, Allah hanya memesankan ’sebagian’ bentuk kebaikan itu saja. “Katakanlah yang baik, kepada manusia.” (Al-Baqarah : 83)

Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan danmerasakan ‘budi baik’ seorang anak, dan lebih pantas diperlakukan secara baik oleh si anak, ketimbang orang lain. Ada beragam cara yang bisa dilakukan seorang muslim, untuk ‘mengejawantahkan’ perbuatan baiknya kepada kedua orang tuanya secara optimal. Beberapa hal berikut, adalah langkah-langkah dan tindakan praktis yang memang sudah ’seharusnya’ kita lakukan, bila kita ingin disebut ‘telah berbuat baik’ kepada orang tua:

1. Bersikaplah secara baik, pergauli mereka dengan cara yang baik pula, yakni dalam berkata-kata, berbuat, memberi sesuatu, meminta sesuatu atau melarang orang tua melakukan suatu hal tertentu.

2. Jangan mengungkapkan kekecewaan atau kekesalan, meski hanya sekadar dengan ucapan ‘uh’. Sebaliknya, bersikaplah rendah hati, dan jangan angkuh.

3. Jangan bersuara lebih keras dari suara mereka, jangan memutus pembicaraan mereka, jangan berhohong saat beraduargumentasi dengan mereka, jangan pula mengejutkan mereka saat sedang tidur, selain itu,jangan sekali-kali meremehkan mereka.

4. Berterima kasih atau bersyukurlah kepada keduanya, utamakan keridhaan keduanya, dibandingkan keridhaan kita diri sendiri, keridhaan istri atau anak-anak kita.

5. Lakukanlah perbuatan baik terhadap mereka, dahulukan kepentingan mereka dan berusahalah ‘memaksa diri’ untuk mencari keridhaan mereka.

6. Rawatlah mereka bila sudah tua, bersikaplah lemahlembut dan berupayalah membuat mereka berbahagia, menjaga mereka dari hal-hal yang buruk, serta menyuguhkan hal-hal yang mereka sukai.

7. Berikanlah nafkah kepada mereka, bila memang dibutuhkan. Allah berfirman:

Dan apabila kalian menafkahkan harta, yang paling berhak menerimanya adalah orang tua, lalu karib kerabat yang terdekat.” (Al-Baqarah : 215)

8. Mintalah ijin kepada keduanya, bila hendak bepergian, termasuk untuk melaksanakan haji, kalau bukan haji wajib, demikian juga untuk berjihad, bila hukumnya fardhu kifayah.

9. Mendoakan mereka, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:

Dan ucapanlah, “Ya Rabbi, berikanlah kasih sayang kepada mereka berdua, sebagaimana menyayangiku di masa kecil.” (Al-Isra : 24)[8]

Semua hal di atas bukanlah ’segalanya’ dalam upaya berbuat baik terhadap orang tua. Kita teramat sadar, bahwa ‘hak-hak’ orang tua, jauh lebih besar dari kemampuan kita membalas kebaikan mereka. Mungkin lebih baik kita tidak usah terlalu berbangga diri, kalaupun segala hal diatas telah dapat kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Karena orang tua adalah manusia yang pertama kali berbuat baik kepada kita, karena dorongan kasih sayang dan –terlebih-lebih– penghambaan dirinya kepada Allah. Sementara kita hanya memberi balasan, setelah terlebih dahulu kita menerima kebaikan dari mereka. Sehingga, bagaimanapun, nilainya jelas akan berbeda.

Arti Birrul Waalidain

Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu sendiripun bukanlah balasan yang setara yang dapat mengimbangi kebaikan orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang bersyukur.

Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.”

Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tidak bentuk kewajiban:

Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat.

Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua.

Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan.

Bila salah satu dari ketiga kriteria itu terabaikan, niscaya seseorang belum layak disebut telah berbakti kepada orang tuanya.

Karena berbakti kepada kedua orang tua lebih merupakan perjanjian, antara sikap kita dengan keyakinan kita. Kita tahu, bahwa menaati perintah orang tua adalah wajib, selama bukan untuk maksiat. Bahkan perintah melakukan yang mubah, bila itu keluar dari mulut orang tua, berubah menjadi wajib hukumnya. Kita juga tahu, bahwa harta orang tua harus dijaga, tidak boleh dihamburkan secara percuma, atau bahkan untuk berbuat maksiat. Kita juga meyakini, bahwa bila orang tua kita kekurangan atau membutuhkan pertolongan, kitalah orang pertama yang wajib menolong mereka. Namun itu hanya sebatas keyakinan. Bila tidak ada ‘ikatan janji’ dengan sikap kita, semua itu hanya terwujud dalam bentuk wacana saja, tidak bisa terbentuk menjadi ‘bakti’ terhadap orang tua. Oleh sebab itu, Allah menyebut kewajiban bakti itu sebagai ‘ketetapan’, bukan sekadar ‘perintah’. “Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)

Jangan Mendurhakainya!

Mendurhakai orang tua adalah dosa besar. Dan berbuat durhaka terhadap ibu adalah dosa yang jauh lebih besar lagi. Melalui pelbagai penjelasan Islam tentang ‘kewajiban kita’ terhadap sang ibunda, kita dapat menyadari bahwa berbuat durhaka terhadapnya adalah sebuah tindakan paling memalukan yang dilakukan seorang anak berakal.

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan keharusan berbuat baik kepada ibu sebanyak tiga kali, baru pada kali yang keempat untuk sang ayah, karena kebanyakan sikap durhaka dilakukan seorang anak, justru terhadap ibunya[9].”

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka terhadap ibu danmelarang mengabaikan orang yang hendak berhutang. Allah juga melarang menyebar kabar burung, terlalu banyak bertanya dan membuang-buang harta[10].”

Ibnu Hajar memberi penjelasan sebagai berikut, “Dalam hadits ini disebutkan ’sikap durhaka’ terhadap ibu, karena perbuatan itu lebih mudah dilakukan terhadap seorang ibu. Sebab, ibu adalah wanita yang lemah. Selain itu, hadits ini juga memberi penekanan, bahwa berbuat baik kepada itu harus lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada seorang ayah, baik itu melalui tutur kata yang lembut, atau limpahan cinta kasih yang mendalam[11].”

Sementara, Imam Nawawi menjelaskan, “Di sini, disebutkan kata ‘durhaka’ terhadap ibu, karena kemuliaannya yang melebihi kemuliaan seorang ayah[12].”

Kapan seseorang disebut durhaka? Imam Ash-Shan’aani menjelaskan, “Imam Al-Bulqaini menerangkan bahwa arti kata durhaka yaitu: apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak remeh menurut kebiasaan, yang menyakiti orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Dengan demikian, berdasarkan definisi itu, bila seorang anak tidak mematuhi perintah atau larangan dalam urusan yang sangat sepele yang menurut hukum kebiasaan itu tidak dianggap ‘durhaka’, maka itu bukan termasuk kategori perbuatan durhaka yang diharamkan. Namun bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap larangan orang tua dengan melakukan perbuatan dosa kecil, maka yang dilakukannya menjadi dosa besar, karena kehormatan larangan orang tua. Demikian juga, disebut durhaka, bila seorang anak melanggar larangan orang tua yang bertujuan menyelamatkan si anak dari kesulitan[13].”

Ibnu Hajar Al-Haitsami menjelaskan, “Kalau seseorang melakukan perbuatan yang kurang adab dalam pandangan umum, yang menyinggung orang tuanya, maka ia telah melakukan dosa besar, meskipun bila dilakukan terhadap selain orang tua, tidaklah dosa. Seperti memberikan sesuatu dengan dilempar, atau saat orang tuanya menemuinya di tengah orang ramai, ia tidak segera menyambutnya, dan berbagai tindakan lain yang di kalangan orang berakal dianggap ‘kurang ajar’, dapat sangat menyinggung perasaan orang tua[14].”

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, “Arti durhaka kepada orang tua yaitu melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua terganggu atau terusik, baik dalam bentuk ucapan ataupun amalan..[15]

Imam Al-Ghazali menjelaskan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa taat kepada orang tua wajib, termasuk dalam hal-hal yang masih syubhat, namun tidak boleh dilakukan dalam hal-hal haram. Bahkan, seandainya keduanya merasa tidak nyaman bila makan sendirian, kita harus makan bersamamereka. Kenapa demikian? Karena menghindari syubhat termasuk perbuatanwara’ yang bersifat keutamaan, sementara mentaati kedua orang tua adalah wajib. Seorang anak juga haram bepergian untuk tujuan mubah ataupun sunnah, kecuali dengan ijin kedua orang tua. Melakukan haji secepat-cepatnya bahkan menjadi sunnah, bila orang tua tidak menghendaki. Karena melaksanakan haji bisa ditunda, dan perintah orang tua tidak bisa ditunda. Pergi untuk menuntut ilmu juga hanya menjadi anjuran, bila orang tua membutuhkan kita, kecuali, untuk mempelajari hal-hal yang wajib, seperti shalat dan puasa, sementara di daerah kita tidak ada orang yang mampu mengajarkannya..[16]

Seringkali seorang anak membela diri saat dikecam sebagai anak yang durhaka terhadap ibunya, dengan pelbagai alasan yang dibuat-buat, atau sekadar mengalihkan perhatian kepada soal lain. ‘Seharusnya kan orang tua itu lebih tahu,’ ‘Seharusnya seorang ibu mengerti perasaan anak,’ ‘Seharusnya seorang ibu itu lebih bijaksana daripada anaknya,’ ‘Seharusnya seorang ibu tidak boleh memaksakan kehendak,’ dan berbagai alasan kosong lainnya. Yah, taruhlah, dalam suatu kasus, si ibu memang melakukan kesalahan, dengan memaksakan kehendaknya, atau bersikap kurang bijaksana. Namun saat si anak membantah perintah atau larangan ibunya, apalagi dia mengerti bahwa yang dikehendaki oleh ibunya itu adalah baik, meski kurang tepat, tidak pelak lagi, si anak telah berbuat durhaka. Di sinilah seharusnya ‘kunci kesabaran’ dan tingkat ‘kesadaran’ terhadap syariat Allah, juga penghormatan terhadap orang tua, dapat menggeret seseorang mengambil jalan mengalah, meskipun ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk harta, dan juga cita-citanya. Selama hal itu dapat membahagiakan sang ibu, seharusnya ia berusaha untuk memenuhi kehendaknya.

Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsan menegaskan, “Apabila kita sudah menyadari betapa besar hak seorang ibu terhadap anaknya, dan betapa besar dosa perbuatan durhaka terhadapnya, atau dosa sekadar lalai memperhatikannya,cobalah, segera berbakti kepadanya, maafkan segala kekeliruannya di masa lampau, berusaha dan berusahalah untuk selalu menjalin hubungan baik dengannya. Berusahalah untuk menyenangkannya, dan dahulukan upaya memperhatikannya daripada segala hal yang kita sukai. Berupayalah untuk memenuhi kebutuhannya selekas mungkin, jangan sampai menyusahkannya. Ingatlah firman Allah:

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Israa : 24)

Ketika orang tua telah berusia senja.

Pada saatnya, usia juga yang membatasi kepawaian seorang ibu mengasuh anaknya. Kasih ibu, memang tak dapat dihentikan sang waktu. Namun sebagai manusia, kekuatannya tidak pernah abadi. Akhirnya, sang ibu harus melalui juga masa-masa yang belum pernah dibayangkan selama ini. Kulitnya mulai keriput, tenaganya mulai jauh berkurang, tulang-tulangnyapun mulai terasa rapuh, suaranya berubah menjadi sengau, tak mampu menyetabilkan nada yang keluar. Saat itulah, ia mulai sangat membutuhkan belaian kasih sang anak. Ia mulai memerlukan adanya orang lain di sisinya, untuk menyelesaikan segala hal, termasuk pekerjaan-pekerjaan ringan sekalipun, yang selama ini bisa dia selesaikan seorang diri. Saat itulah, bakti seorang anak menjadi suatu hal yang teramat dibutuhkan:

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:”Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Al-Isra : 23-24)

Saat usia semakin tua, bisa jadi kepekaan seorang ibu bertambah. Ia lebih mudah tersinggung, lebih mudah melampiaskan amarahnya, lebih mudah tersentuh hatinya hanya oleh kata-kata atau ucapan, yang bila itu diucapkan seorang anak di waktu mudanya, tidak akan diperdulikan sama sekali. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan bimbingan yang demikian santun, agar seorang anak membiasakan diri berbicara dan bersikap secara mulai, santun dan terpuji, terhadap kedua orang tuanya, terutama sekali ibunya.

Suatu hari, Rasulullah naik ke atas mimbar, lalu beliau berkata: “Amin, amin, amin.” Kontan, seorang Sahabat bertanya: “Kenapa engkau mengucapkan amin, amin dan amin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tadi datang Jibril menemuiku, lalu ia berkata: “Barangsiapa yang menjumpai bulan Ramadhan, lalu ia tidak mendapatkan ampunan Allah, maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendapatkan salah seorang dari kedua orang tuanya, atau keduanya, pada saat mereka sudah berusia lanjut, namun ia tidak berkesempatan berbakti kepada mereka, maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendengar namaku (Nabi Muhammad) disebutkan, lalu ia tidak membaca shalawat untukku, maka bila ia mati, ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.[17]

Saat Ibunda Telah Wafat

Ada beberapa wujud manefestasi cinta kasih kepada sang bunda, yang masih dapat kita lakukan saat sang bunda sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Semua bentuk implementasi cinta kasih itu pada dasarnya lebih bersifat tugas dan kewajiban kita. Dengan atau tanpa muatan cinta kasih, semua tugas itu harus kita pikul. Namun adalah kenistaan, bila kita melaksanakan semuanya tanpa landasan cinta kepadanya. Berikut ini, penulis paparkan beberapa di antaranya:

Pertama: Melaksanakan perjanjian dan pesan sang bunda.

Diriwayatkan dari Syaried bin Suwaid Ats-Tsaqafi, bahwa ia menuturkan, “Wahai Rasulullah! Ibuku pernah berpesan kepadaku untuk memerdekakan seorang budak wanita yang beriman. Aku memiliki seorang budah wanita berkulit hitam. Apakah aku harus memerdekakannya?” “Panggil dia.” Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Saat wanita itu datang, beliau bertanya, “Siapa Rabbmu?” Budak wanita itu menjawab, “Allah.” “Lalu, siapa aku?” Tanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lagi. Wanita itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliaupun bersabda, “Merdekakan dia. Karena dia adalah wanita mukminah[18].”

Kedua: Mendoakan sang ibu, membacakah shalawat dan memohonkan ampunan baginya.

Ibnu Rabi’ah meriwayatkan: Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam! Apakah masih tersisa bakti kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Ya. Bacakanlah shalat untuk mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, tunaikan perjanjian mereka, peliharalah silaturahim yang biasa dipelihara kala mereka masih hidup, juga, hormati teman-teman mereka[19].”

Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di Surga kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana aku bisa mendapatkan derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampun dari anakmu[20].”

Salah satu dari tanda cinta kasih kita kepada ibu adalah munculnya pengharapan agar si ibu selalu hidup berbahagia. Bila ia sudah meninggal dunia, kita juga senantiasa mendoakannya, membacakan shalat untuknya serta memohonkan ampunan untuknya. Semua perbuatan tersebut bukanlah hal-hal yang remeh. Dan juga, amat jarang anak yang mampu secara telaten melakukan semua kebajikan tersebut. Padahal, ditinjau dari segi kelayakan, dan segi kesempatan serta kemampuan, sudah seyogyanya setiap anak berusaha melakukannya. Dari kwantitas, semua amalan tersebut tidak membutuhkan banyak waktu. Sekadar perhatian dan kesadaran, yang memang sangat dituntut. Bila seorang anak merasa sangat kurang berbakti kepada kedua orang tuanya, inilah kesempatan yang masih terbuka lebar, untuk menutupi kekurangan tersebut, selama hayat masih dikandung badan.

Ketiga: Memelihara hubungan baik, dengan teman dan kerabat ibu.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan silaturahim dengan ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik dengan teman-teman ayahnya yang masih hidup[21].”

Keempat: Melaksanakan beberapa ibadah untuk kebaikan sang ibu.

Sa’ad bin Ubadah pernah bertanya, “Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Air. Gali saja sumur. Lalu katakan: ‘pahala penggunaan sumur ini, untuk ibu Saad[22].”

Demikianlah sekilas tentang hubungan dengan ibu yang menjadi salah satu dari kedua orang tua, sengaja dibatasi pembahasan ini hanya seputar ibu, agar lebih singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Artikel UstadzKholid.Com

12 LANGKAH MANTAPKAN IMAN



12 Langkah Mantapkan Iman
(oleh Ust Abdul Ghani Samsudin)

1.Melaksanakan 12 raka’at sunat nawafil ; iaitu 2 sebelum fajar , 4 sebelum zohor dan 2 raka’at selepas zohor, 2 raka’at selepas maghrib, 2 raka’at selepas isya’.


Natijah yang di harapkan ialah: Allah akan membinakan untuk kita yang terus menerus melaksanakan amalan berkenaan dengan sebuah rumah di syurga..


Dalilnya ialah sabda Rasulullah.S.A.W. :

“من صلَّى في يومٍ اثنتي عشرة سجدة، تطوُّعا، بني له بيتٌ في الجنَّة" (رواه مسلم). “

“Siapa yang menunaikan saban hari 12 raka’at solat sunat secara sukarela nescaya dibinakan untuknya ( oleh Allah) sebuah rumah di syurga.

2.Menunaikan dua raka’at solat sunat tiap malam.


Natijah yang di harapkan ialah: Doa dimakbulkan , dosa terampun dan hajat disempurnakan.

Dalilnya ialah sabda Rasulullah S. A. W. :

"يتنزَّل ربُّنا تبارك وتعالى كلَّ ليلةٍ إلى السماء الدنيا، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول: من يدعوني فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له" (رواه البخاري).


”Tuhan kita ALLAH S. W. T. turun ke langit dunia setiap malam apabila tinggal sepertiga malam.

Allah SWT berfirman :

Siapakah gerangan yang berdoa kepada Ku untuk aku makbulkan doanya.

Siapa pula yang memohon sesuatu untuk Aku berikan permohonannya. Siapa pula yang memohon istighfar kepada Ku untuk Aku ampunkan (dosanya).”

3.Menunaikan solat Dhuha dua, atau empat, atau lapan raka’at.

Natijah yang di harapkan ialah: Terlaksananya penunaian sedekah bagi tiap siku atau sendi sendi tulang belulang kita.


Dalilnya ialah sabda Rasulullah S. A. W. :
“يصبح على كلِّ سلامي من أحدكم صدقة، فكلُّ تسبيحه صدقة، وكلُّ تحميده صدقة، وكلُّ تهليله صدقة، وكلُّ تكبيرةٍ صدقة، وأمرٌ بالمعروف صدقة، ونهيٌ عن المنكر صدقة، ويجزئ من ذلك، ركعتان يركعهما من الضحى" (رواه مسلم، وروى البخاريُّ جزءاً منه) .

”Setiap siku dan sendi tulang belulang anak Adam wajib dikeluarkan sedekahnya. (Untuk pengetahuan anda ) Setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah , setiap takbir sedekah,amr makruf sedekah, nahi ’anil munkar merupakan sedekah.


Namun tanggungjawab mengeluarkan sedekah untuk sendi-sendi itu boleh dijelaskan dengan penunaian dua raka’at sembahyang dhuha.”


4. Mengamalkan bacaan Surah al- Mulk (Tabarak)

Natijah yang di harapkan ialah: Terselamat dari seksa kubur.

Dalilnya ialah sabda Rasulullah S. A. W. :

"إنَّ سورةً من القرآن ثلاثون آية، شفعت لرجلٍ حتى غُفِر له، وهي "تبارك الذي بيده الملك"" رواه الترمذيُّ وأحمد، وقال الترمذيّ: هذا حديثٌ حسن.

(Dalam al Quran ) terdapat satu surah yang mengandungi tiga puluh ayat . Surah ( dan ayat ) ini akan terus menerus memohon syafaat sehinggalah (pengamalnya) diampunkan (dosanya).


Ayat tersebut ialah :
"تبارك الذي بيده الملك""


5.Mengamalkan budaya menyebut :
"لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، وهو على كلِّ شيءٍ قدير".

”Tiada tuhan kecuali Allah semata-mata. Tidak ada sekutu baginya. Allah memiliki kerajaan alam buana dan bagiNya segala tahmid (puji). Allah maha berkuasa berbuat apa sahaja.”


Natijah yang di harapkan ialah: Perbuatan tersebut menyamai pembebasan sepuluh orang hamba, dituliskan untuk pelakunya seratus pahala kebaikan. Dihapuskan untuknya seratus kejahatan dosa. Amalan itujuga menjadi pendinding dari syaitan.


Dalilnya ialah sabda Rasulullah S. A. W. :
"من قال لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، وهو على كلِّ شيءٍ قدير، في يومٍ مائة مرَّة، كانت له عدل عشر رقاب، وكتبت له مائة حسنة، ومحيت عنه مائة سيِّئة، وكانت له حرزاً من الشيطان يومه ذلك حتى يمسي، ولم يأت أحدٌ بأفضل ممَّا جاء به، إلا أحدٌ عمل أكثر من ذلك" (رواه مسلم).



”Siapa yang menyebut-nyebut: Tiada tuhan kecuali Allah semata-mata. Tiada sekutu bagiNya. Segala kerajaan dan pujian untukNya.


Dia maha berkuasa untuk berbuat apa sahaja - sebanyak seratus kali maka perbuatan itu ibarat membebaskan sepuluh orang hamba sahaya. Akan dituliskan untuk (pembaca)nya seratus pahala kebaikan dan dihapuskan baginya seratus dosa kejahatan. Bacaan tersebut akan terus menjadi pendidingnya dari (gangguan) syaitan dari pagi hari hinggalah ke petangnya. Tidak ada sesiapa yang boleh menampilkan kebaikan yang lebih afdhal dari itu kecuali orang yang membaca bacaan itu lebih banyak daripadanya.”

6.Membaca selawat Nabi seratus kali.

Natijah yang di harapkan ialah: Tersisihnya diri dari sifat bakhil dan mendapat restu serta rahmat Allah S.W.T.

Dalilnya ialah sabda Rasulullah SAW. :

"فإنَّه من صلَّى عليَّ صلاةً صلَّى الله عليه بها عشرا" (رواه مسلم). وقوله : "البخيلُ الذي منْ ذُكِرت عنده فلم يصلِّ عليّ" (رواه الترمذيّ، وقال: هذا حديثٌ حسنٌ غريبٌ صحيح ).

“Siapa yang mengucapkan selawat untuk ku dengan satu selawat nescaya dibalas Allah baginya sepuluh restu dan rahmat.

(Hadith riwayat Muslim) dan Hadith :

“Orang yang bakhil itu ialah orang yang apabila disebut (di hadapannya) nama ku ia sedikitpun tidak berselawat untuk ku.” (riwayat Termizi )

7.Mengamalkan bacaan :

"سبحان الله وبحمده، سبحان الله العظيم"

Sebanyak seratus kali .
Natijah yang di harapkan ialah: akan ditanamkan untuknya seratus batang pohon kurma di syurga.


Dalilnya ialah sabda Rasulullah S. A. W. :


"من قال سبحان الله العظيم وبحمده غُرِست له نخلةٌ في الجنَّة"رواه الترمذيّ، وقال: حديثٌ حسنٌ غريب.


“Siapa yang menyebut : Maha suci Allah dan segala tahmid bagi Allah yang Maha Agong; nescaya ditanamkan untuk pohon kurma di syurga. (Hadith riwayat Termizi)


8. Menyebut “Istighfar “ seratus kali


Natijah yang di harapkan ialah: Allah swt akan hilangkan segala kerunsingannya dan murahkan reskinya.



Dalilnya ialah sabda Rasulullah S. A. W. :
"من لزم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجا، ومن كلِّ همٍّ فرجا، ورَزَقه من حيث لا يحتسب"رواه أبو داود وابن ماجه والحاكم بسندٍ صحيح.


“Siapa yang mengamalkan secara berterusan “istighfar” nescaya Allah lepaskan dia dari segala kesulitan, Allah hilangkan kerunsingan hatinya. Allah beri dia rezeki dari sumber yang dia tidak menyangkanya sama sekali. ( Hadith riwayat Abu Daud).


9. Melazimkan diri dengan pembacaan wirid al Quran, satu juz atau satu Hizb.
Natijah yang di harapkan ialah: Dapat meraih kebaikan dan penggandaan pahala serta mendapat ketenangan jiwa.

Dalilnya ialah sabda Rasulullah S. A. W. :


" من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول ألم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف" (رواه الترمذي ). وقال تعالى : " الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ" (الرعد: 28 ) .

“Siapa jua yang membaca satu huruf dari al Quran maka nescaya Allah akan memberikan satu pahala kebaikan dan pahala itu akan digandakan pula menjadi sepuluh kali ganda. Saya tidak maksudkan satu huruf itu ialah ialah perkataan ألم . Tapi sebaliknya Alif dikira satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf. Allah berfirman : “Orang yang beriman itu hati mereka akan tenang bila menyebut nama Allah. Memang dengan menyebut nama Allah lah hati-hati (manusia ) akan menjadi tenang. (Surah al –Ra’d :28)

10 Memperuntukkan masa walau sekelumit untuk memanjatkan doa munajat dan rintihan pilu kepada Allah S. W. T. setiap hari.


Natijah yang di harapkan ialah: Untuk meningkatkan kekuatan batin dan rohani yang boleh membantu sesorang menghadapi cabaran hidup, mengukuhkan sandaran diri kepada yang Maha kuat dan gagah , meringankan keresahan jiwa di samping memohon kemantapan langkah dalam perjuangan.

Dalilnya ialah firman Allah S.W.T.:


" أمن يجيب المضطر إذا دعاه ويكشف السوء " (النمل: 62 ). وقوله سبحانه : "وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ " (البقرة : 186) .


“Siapakah gerangan (selain Allah) yang menyahut seruan orang yang terdesak dan yang dapat menghindarkan mereka dari kecelakaan.” (Surah Al Naml :62)

“ Seandainya para hambaKu bertanya tentangKu (maka katakanlah) Aku ini sangat hampir kepada mereka; Aku sentiasa menyahut seruan orang yang menyeru dan berdoa kepadaKu. Oleh itu hendaklah mereka menyahut panggilanKu dan beriman kepadaKu . Mudah-mudahan (dengan itu) mereka menjadi manusia yang waras.” (Surah al-Baqarah:186)


11. Mengamalkan setiap hari di waktu pagi dan petang bacaan zikir al Ma’thurat.
Natijah yang di harapkan ialah: Untuk menghayati dengan penuh semangat akan segala makna dan nilai-nilai suci yang terkandung dalam seluruh sebutan suci dan mulia yang tertera dalam zikir berkenaan .


Ini juga bertujuan untuk memantapkan diri dengan saranan dan arahan mulia yang tersirat dalam bacaan tersebut.


Dalilnya ialah firman Allah S.W.T.
" فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ" (غافر:55) .


Maka bersabarlah ; sesungguhnya janji Allah itu memang benar adanya. (Di samping itu) beristighfarlah (kepada Allah) memohon ampun kepadaNya terhadap dosamu seraya bertasbih dan bertahmid memuji (kebesaran) tuhanmu setiap pagi dan petang. (Ghafir:55)

12.Elakkan bermalas-malas; sebaliknya hiduplah dengan semangat persaudaraan yang positif dan bergaul dengan orang ramai dengan akhlak yang baik , mantapkan persaudaraan dengan orang lain dengan sopan santun dan budipekerti yang mulia.

Natijah yang di harapkan ialah: dengan semangat pergaulan yang baik itu dapat kita menerapkan buah dari hasil keimanan yang positif dengan berkongsi pengalaman yang baik dan manis dengan orang lain.


Jadi penghayatan rohaniah itu dirasakan juga oleh orang lain dan bukan hanya sekadar ulangan sebutan wirid dan zikir di bibir sahaja .

Dalilnya ialah firman Allah S.W.T.

" وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ "(التوبة :71).


“Orang-orang mukmin lelaki dan perempuan ; mereka itu sesama sendiri adalah saling bantu membantu (satu sama lain); mereka saling menyuruh (orang lain) berbuat baik dan saling menegah (orang lain) dari (melakukan) kemunkaran. Mereka menunaikan solat , mengeluarkan zakat, mematuhi Allah dan RasulNya. Golongan itu bakal dirahmati oleh Allah . Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”

Sabda Rasulullah:


" لا تحقرن من المعروف شيئاً ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق" . رواه مسلم ، وقال صلى الله عليه وسلم قال: " اتق الله حيثما كنت ، وأَتْبِعِ السَّيئةَ الحسنةَ تَمْحُها ، وخالقِ الناسَ بخُلُقٍ حسنٍ " (رواه الترمذي).


“Jangan anda memandang ringan kepada sesuatu amalan kebaikan , walaupun sekadar bertemu sahabat dengan wajah yang ceria.” (Riwayat Muslim) .

Sabda baginda lagi:
“Bertakwalah kepada Allah di mana jua anda berada, ikuti keburukan dengan perbuatan kebaikan yang boleh menghapuskan (kesan)nya , bergaullah dengan orang ramai dengan akhlak yang baik.” (Riwayat Termizi).

Semoga dengan melaksanakan 12 bentuk amalan ini kita akan lebih dirahmati dan dikasihi oleh Allah Azza Wajalla.

Ya Allah kasihanilah kami dan ampunkan dosa kami dan dosa ibu bapa


Friday, February 10, 2012

QANAAH


Qana’ah artinya ridha dengan sedikitnya pemberian dari Allah. Karena itu ada sebagian ahli tasawuf mengatakan, bahwa seorang hamba adalah sama seperti orang merdeka bila ia ridha atas segala pemberian, dan seorang merdeka sama seperti seorang hamba bila bersifat thama (rakus). Sebagaimana dikatakan dalam syair :

“Seorang hamba menjadi merdeka bila ia ridha (menerima apa adanya) dan seorang merdeka menjadi budak bila ia minta-minta. Maka terimalah apa adanya, janganlah meminta-minta, tiada sesuatu yang tercela selain rakus (thama).”

Menurut Prof. Dr. Hamka dalam bukunya “Tashawwuf Modern”.Qana’ah ialah menerima cukup. Qana’ah itu mengandung lima perkara, yaitu :

  1. Menerima dengan rela apa yang ada.
  2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha.
  3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
  4. Bertawakkal kepada Tuhan
  5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Orang yang mempunyai sifat qana’ah adalah orang menerima apa saja yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Ia tidak akan tergiur oleh kemewahan atau kekayaan yang dimiliki orang lain, karena dirinya sudah merasa cukup. Dia sebenarnya sudah merasa kaya dari apa yang dimilikinya. Karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah tergantung pada banyaknya harta, melainkan sifat menerima yang dimilikinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa”.

Maksud hadist ini adalah, bahwa jiwa yang sudah merasa kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu loba dan cemburu, bukan orang yang minta lebih terus-terusan. Karena kalau masih meminta tambah, tandanya masih kurang.

Rasulullah SAW bersabda pula :

“Qana’ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap” (HR. Thabrani dari Jabir)

Tokoh shufi Hasan Bashri mengemukakan masalah qana’ah yang ditemukan dalam kitab Taurat dengan katanya : “5 Kalimat disimpan dan dimuat dalam Taurat, yaitu :

  1. Kecukupan disimpan dalam qana’ah.
  2. Keselamatan berada dalam uzlah (mengasingkan diri).
  3. Kebebasan didalam mengekang syahwat.
  4. Mahabbah (cinta) didalam menyisihkan keinginan.
  5. Kegembiraan kekal didalam sabar (sementara hidup di dunia).

Dari gambaran ini, dapat dengan jelas diambil pelajaran, bahwa kecukupan seseorang adalah tergantung dari perasaan menerima apa adanya, tanpa ingin tambah terus menerus yang menandakan masih adanya kekurangan. Karena itu seseorang hendaknya mau memandang kepada yang lebih rendah dalam urusan harta. Hanya dengan jalan inilah, perasaan sudah cukup bisa dimiliki seseorang. Tidak terus menerus ingin bertambah harta kekayaannya.

Lebih dari itu, haruslah disadari bahwasannya harta benda yang ditumpuk-tumpuk tidak akan dibawah ke liang kubur, tapi akhirnya hanya ditinggalkan pada ahli warisnya sementara diakhirat masih diminta pertanggung jawabannya.

Perasaan seseorang yang memiliki qana’ah itu bagaikan seorang lapar kehausan ditengah perjalanan di terpa panas matahari, namun tiba-tiba secara kebetulan menemukan air. Sungguh bahagia sekali perasaannya saat menemukan air itu. Bahkan ada satu sya’ir menggambarkan masalah ini, yaitu :

“Sesungguhnya keridhaan (menerima apa adanya) itu bagaikan minuman yang sangat pahit, yang dirasakan orang yang menerima ketika merasakan kesusahan. Balasan keridhaan akan tampak dimasa datang, tidaklah usaha sedikit akan menghasilkan yang banyak”.

Maka barangsiapa yang telah memperoleh rizki dan telah cukup untuk dimakan pada waktu pagi, siang dan petang, hendaklah hati merasa tenang dan cukup. Orang Islam tidak dilarang bekerja mencari harta kekayaan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan memang orang Islam tidak diperbolehkan berpangku tangan, hidup meminta-minta dan sebagainya. Bekerjalah dengan giat dengan ibadah dan melaksanakan kewajiban agama.

Menurut pandangan kaum shufi, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya diatas. Begitu pula qana’ah yang dimaksud disini adalah qana’ah hati, bukan qana’ah ikhtiar, jadi berusaha dengan cukup, bekerja dengan giat, sebab hidup berarti bekerja, jangan sekali-kali ragu menghadapi hidup.

Qana’ah adalah basis menghadapi hidup, menerbitkan kesungguhan hidup, menimbulkan energi kerja untuk mencari rizqi, jadi berikhtiar dan juga percaya akan taqdir yang diperoleh sebagai hasil.(Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

IKHLAS


Manusia diciptakan oleh Allah SWT. Hanyalah untuk beribadah kepadaNya menurut syariat atau aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Begitu pula dalam ibadah kepada Allah haruslah disesuaikah dengan garis-garis yang telah ditetapkan syariat serta hanyalah diniatkan semata-semata karena Allah dan mengharapkan ridhoNya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Namun sayang sekali, kadang-kadang ada sebagian diantara manusia itu ada yang menyimpang jauh dari tujuan diciptakannya semula, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Selama hidupnya tidak dipergunakan ibadah, tapi hanyalah diisi dengan perbuatan-perbuatan maksiat, selalu melanggar larangan-larangan Allah dan lebih tragis lagi, ada yang mengkufuri atau mengingkari adanya Allah dan juga menetang syariatNya secara terang-terangan.

Selain itu, masih ada lagi yang lebih tragis lagi nasibnya, yaitu orang yang lahirnya sudah melaksanakan ibadah dan juga sudah meyakini kebenaran ibadahnya, namun salah dalam pelaksanaannya. Ibadahnya melenceng dari tujuan dan tidak sesuai dengan tuntunan Allah. Dalam hal ini adalah niat ibadahnya tidak benar, yakni tidak sesuai dengan tuntunan Allah. Niat ibadahnya tidak ditujukan semata-mata karena Allah, namun ditujukan dan diniatkan kepada yang lainnya. Ibadahnya tidak semata-mata ditujukan kepada Allah dan mengharapkan ridhoNya, tapi demi mengharapkan pujian, sanjungan ataupun ingin dilihat oleh orang lain.

Dalam pandangan shufi, beribadah seperti itu tidak akan berhasil guna, bahkan sia-sia saja. Sebab tidak dilakukan secara ikhlas karena Allah. Ibadah seperti itu tidak akan diterima oleh Allah. Ibadah yang diterima oleh Allah adalah ibadah yang dilakukan secara ikhlas dan benar. Ikhlas artinya semata-mata ditujukan kepada Allah dan benar artinya dilakukan sesuai dengan syariatNya.

Beribadah secara ikhlas menurut definisi para ulama shufi adalah tidak ingin seseorang amalnya yang baik dilihat orang lain, apalagi diperlihatkan, tidak jauhnya seperti dia melakukan kejahatan yang tidak ingin diketahui masyarakat. Sebagian ulama shufi yang lain menekankan pada dasar ikhlas yaitu tidak ingin dipuji oleh orang lain.

Bagi pandangan kaum shufi, ibadah dan ikhlas tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya, selalu saling kait mengkait antara yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini, bila diibaratkan bagaikan tubuh, maka ikhlas adalah rohnya. Ibadah yang tidak dilakukan dengan ikhlas bagaikan tubuh tanpa roh alias bangkai. Jika bangkai itu dibiarkan lama kelamaan akan membawa penyakit yang amat berbahaya. Hal ini disebabkan keberadaan ikhlas adalah sebagai sumber motivasi ibadah seseorang, sekaligus jantung dan nyawanya. Tanpa rasa ikhlas ibadah seseorang tidak akan berlangsung lama. Tergantung musim dan lingkungannya. Jika lingkungannya mendorong untuk beribadah, maka semangatnya timbul. Sebaliknya bila sepi dari rangsangan atau dorongan tertentu, lemah dan malas. Lain halnya dengan ibadah yang dilakukan dengan ikhlas, dia akan terus beribadah tanpa menunggu dorongan atau rangsangan dari lingkungannya. Ada orang yang melihat atau tidak, dicela atau dipuji, sendirian ataupun bersama banyak orang, tetap saja melakukan ibadah sesuai dengan dorongan hati nuraninya yang semata-mata mengharapkan pujian dan sanjungan dari Allah SWT.

Bila dalam diri kita masih terdapat perasaan, rangsangan dan dorongan yang ditimbulkan dari lingkungan sekitarnya dalam melaksanakan ibadah, misalnya ingin dilihat orang lain, dipuji dan disanjung-sanjung dan lain sebagainya, berarti secara tidak sadar, diri kita sudah terjebak dalam lumpur riya’. Lebih jelasnya bisa dilihat dari ciri-ciri seseorang yang terjangkit penyakit riya’. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW :

Empat macam tanda bukti orang yang riya’, yaitu :

  1. Malas ketika sedang sendirian.
  2. Sangat tangkas/giat dihadapan orang banyak.
  3. Amal ibadahnya meningkat ketika dipuji.
  4. Menurun ketika perilaku/ibadahnya dicela.

Empat macam ciri inilah yang dapat dipergunakan untuk mengoreksi diri dalam setiap melaksanakan ibadah, dengan tujuan agar terhindar dari penyakit riya’. Dan dengan bekal ilmu tentang ciri-ciri riya’ ini, maka seseorang dapat mengoreksi dirinya barangkali sudah kerasukan penyakit yang sangat berbahaya ini. Apabila seseorang senantiasa melakukan koreksi terhadap gejala-gejala riya’ ini, akan senantiasa terhindar dari kehancuran amal ibadahnya, sehingga semua amal ibadahnya akan diterima oleh Allah SWT. Mengingat bila kita terjebak kedalam penyakit riya’ amal ibadah yang telah dilakukan tidak membawa manfaat sama sekali, karena ditolak oleh Allah. Lebih celaka lagi akan dimasukkan oleh Allah kedalam neraka jahannam.

Gambaran yang lebih jelas mengenai sifat riya’ yang menggerogoti amal sholeh dan membawa kesia-siaan dan kehancuran. Sifat riya’pada akhirnya hanyalah membawa penyesalan bagi pelakunya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadistnya yang panjang yang artinya sebagai berikut : “Ketika tiba saat hari kiamat, Allah memutuskan semua urusan makhluqnya, semuanya tunduk kepadaNya, yang dipanggil adalah pembaca Al-Quran, lalu ditanyakan kepadanya : “Kamu telah mempelajari apa yang telah diwahyukan kepada utusanKu?” Jawabnya : “Ya Tuhan”, “lalu apa yang kamu amalkan didalamnya?” “aku membacanya dimalam ataupun disiang hari”. Kemudian Allah dan malaikat-Nya menyanggahnya : “kamu telah berbohong, karena semua itu kamu lakukan hanya karena dipuji orang, dan itu sudah terlaksana di dunia”. Yang kedua ialah para hartawan, lalu ditanyakan kepadanya : “Harta yang Aku berikan kepadamu, kau buat untuk apa saja?” Jawabnya : “Kubelanjakan demi menyambung sanak famili dan disedekahkan”. Lalu disanggah oleh Allah dan malaikatNya : “Kamu bohong karena semua itu kamu lakukan agar kamu disebut dermawan, dan itu sudah terlaksana”.Yang ketiga adalah orang mati sabil (syahid), berperang dijalan Allah, lalu ditanyakan kepadanya : “Kenapa kamu terbunuh?” jawabnya : “Berperang fi sabilillah”. Lalu disanggah oleh Allah dan para MalaikatNya : “Kamu bohong, karena tujuanmu supaya kamu disebut pahlawan yang gagah berani, dan hal semacam itu sudah terlaksana di dunia”.

Kata Abu Hurairah : “Lalu Rasulullah SAW. Menepuk lututku seraya bersabda : “Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling awal disiksa dineraka”. Dan ketika Muawiyah mendengarnya, langsung menangis dan berkata : “Sungguh benar Allah dan RasulNya, dia sitir Al-quran Surat Hud 15-16 :

“Barang siapa (tujuan amalnya) hanya menghendaki kesenangan dan keindahan dunia, pasti kami sempurnakan balasannya didunia, sedikitpun tidak dikurangi. Itulah orang-orang yang tidak ada balasannya diakhirat, kecuali neraka, lenyaplah semua amal usahanya dan sia-sialah pekerjaannya”.

Begitulah akhirnya perjalanan amal yang tidak disertai niat yang ikhlas. Amal perbuatannya tidak mendapatkan pahala sama sekali, karena ditolak oleh Allah. Pada akhirnya sangat memprihatinkan sekali karena harus dimasukkan kedalam neraka jahannam, Na’udzu billah.(Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

http://www.bulbulmukhtar.org/berita-209-ikhlas.html

MEMELIHARA WAKTU


Bagi seorang sufi wajib mempergunakan waktu seluruhnya untuk melaksanakan ketaatan kepada syariat agama Alah dan meninggalkan banyaknya pembiraan yang tiada berguna. Sabda Rasulullah SAW : “diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tiada berguna”.

Maka jikalau kita mengetahui diri kita dalam bergaul dengan sesama manusia dan ngobrol tanpa adanya suatu kebutuhan dan tujuan penting. Berarti sudah termasuk dalam kesia-siaan dan menggiring pada keangkuhan hati. Maka dari itu, bila seseorang melanggengkan dalam ibadah akan menemukan manisnya munajat kepada Allah. Hendaklah senang membaca dan mempelajari kitab Allah dan jangan sampai menyibukkan diri dengan sesama makhluq dengan berkomplot dan berbicara tanpa membawa manfaat apa-apa. Maka hendaklah jangan sampai mempergunakan waktu secara sembrono yang akibatnya akan membawa pada kerugian yang amat besar. Perlu diketahui bahwa waktu adalah merupakan umur kita, umur adalah sama saja dengan harta dan dagangan kita dan dengan memanfaatkan umur sebaik-baiknya akan sampailah kita pada kenikmatan yang kekal abadi di sisi Allah.

Maka setiap jiwa dari jiwa-jiwa kita adalah merupakan permata yang tiada ternilai harganya. Jika gagal atau putus ditengah jalan, maka tak akan bisa diharapkan untuk kembali lagi. Karena itu, seyogyanya tidaklah disibukkan waktu sehari-hari kecuali untuk menambah ilmu, beramal sholeh karena hanya dengan keduanya (ilmu dan amal sholeh) nanti bisa menjadi teman abadi dialam kubur saat dimana kita meninggalkan keluarga, harta, anak-anak dan para sahabat kita.

Hendaklah semua kegiatan yang menyita waktu kita diniatkan seluruhnya untuk beribadah. Satu misal makan. Janganlah hanya ingin mencari kelezatan dan mengenakkan tidur, tapi haruslah diniatkan supaya kuat dalam beribadah, kuat dalam melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah keluarga dan melakukan kegiatan sosial lainnya.

Ketahuilah bahwa perkara yang melipat gandakan pahala adalah tergantung niatnya, seperti duduk-duduk di masjid diniatkan I’tikaf, niat menunggu sholat, niat khalwat dari beberapa kesibukan hati, uzlah dari manusia, niat berdzikir, membaca Al-quran dan berniat memelihara pendengaran, penglihatan dan lisan dari apa saja yang tidak berguna dan niat memakmurkan masjid dengan dzikrullah. Maka sebaiknya semua manusia dalam setiap geraknya diniatkan untuk ibadah dan melakukan amal shaleh, jangan sampai melakukan perbuatan sia-sia disebabkan tanpa dibarengi niat ibadah lebih dulu.

Manusia hendaknya dapat membagi waktu dengan baik dan tepat. Misalnya selesai melaksanakan sholat shubuh berjama’ah dilanjutkan dengan berdzikir dengan membaca wirid-wirid tertentu, doa-doa dan diusahakan sebelum sholat shubuh, melakukan sholat sunah fajar 2 raka’at. Waktu berdzikir dilanjutkan sampai terbitnya matahari, dan dilanjutkan sholat dhuha beberapa raka’at menurut kemampuannya. Setelah itu langsung melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai dengan bidangnya masing-masing, hingga batas waktu yang ditentukan.

Pada malam hari misalnya, hendaknya jangan sampai waktu terbuang dengan percuma tanpa kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya. Dan sekurang-kurang waktu malam hari dibagi menjadi tiga bagian. Sebagian untuk memperdalam ilmu agama dan pengetahuan lainnya, sepertiga untuk tidur dan sepertiga akhir untuk berdzikir kepada Allah. Bisa dilakukan dengan melaksanakan sholat tahajud, sholat tasbih, sholat hajat dan melakukan istighotsah memohon segala hajatnya kepada Allah.

Lebih penting lagi dalam mengisi waktu ini adalah penekanan pada kegiatan sholat jama’ah pada saat tiba waktunya sholat wajib. Hendaknya pahala shalat jamaah menjadi pendorong semangatnya untuk melakukan taqarrub kepada Allah. Mengingat sarana berhubungan dan puncak dzikir umat Islam adalah dengan melaksanakan sholat fardhu lima waktu sehari semalam. Disamping menambah lagi dengan sholat-sholat sunat, baik qabliyah maupun ba’diyah.

Selain itu, tidak boleh dilupakan pula membaca Al-quran dalam sehari semalam diluar waktu shalat. Bisa sehari membaca satu juz, satu surat, satu maqra’sekalipun. Sebab ibadah utama umat Islam selain shalat adalah juga membaca Al-quran. Lebih-lebih kalau dapat mengkaji makna dan kandungan isinya. Juga dilengkapi berbagai macam ilmu yang mendukungnya, seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh, tafsirnya dan sebagainya.

Pendek kata, hendaknya orang Islam selama hayatnya tidak sam pai menyia-nyiakan waktu sedikitpun, tanpa digunakan untuk beribadah, bertaqarrub dengan Allah, sehingga hidup ini benar-benar manfaat, selamat dan bahagia. (Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

http://www.bulbulmukhtar.org/berita-213-memelihara-waktu.html

MUSYAHADAH

Tercapainya musyahadah ini adalah dengan adanya mujahadah dalam beramal. Terjadinya keadaan yang demikian ini apabila seseorang sudah berada dalam maqam fana’, yakni penglihatannya hanya ditujukan kepada Allah semata-mata. Karena pada hakikatnya wujud hakiki yang kekal hanyalah Allah, sedang wujud lain tiada lagi.

Maka hanya orang yang mau menghiasi diri dengan mujahadah dengan senantiasa dzikrullah dan membersihkan hatinya saja yang dapat mencapai musyahadah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah :“Barangsiapa menghiasi dirinya dhahirnya dengan mujahadah, niscaya Allah memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.”

Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan adanya kehadiran Allah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah :“Al-Musyahadah adalah kehadiran Allah”.

Kehadiran tingkat musyahadah ini adalah didahului dengan kehadiran hati dihadapan Allah dan beserta Allah atau yang dinamakan huduurul qalbi. Mengingat Allah dengan sepenuh hati artinya hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ketingkat mukasyafah atau terbukanya rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghaib. Maksudnya tersingkaplah rahasia alam ghaib.

Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat Al-Musyahadah. Menurut Al-Junaid adalah : Al-Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada”. Dalam kitab Iqazhul Himam dikatakan : “Al-Musyahadah adalah terbukanya hijab alam perasaan dari pancaran nur yang suci, yaitu tersingkapnya tabir pemeliharaan Alam wujud. Ketika itu engkau melihat Dzatullah dalam Alam Ghaib/Alam Malakut. Dan Allah melihat kamu dalam alam wujud/alam mulkihi. Ketika itu engkau melihat rahasia ketuhanannya dan Allah pun melihat pengabdianmu. Dan adapun pandangan Tuhan terhadap hambanya, adalah meliputi ilmunya, ahwalnya dan rahasia-rahasiaNya”.

Maksudnya adalah Allah mengetahui, apa-apa yang diketahui hambanya, dan apa-apa yang diperbuat hambanya dan apa-apa yang terguris dalam hati sanubari hambaNya.

Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Terjadinya melalui tiga tahap, yaitu :

Nur Musyahada I : adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seseorang merasa muraqabah/berintai-intaian dengan Allah.

Nur Musyahada II : adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni, hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.

Nur Musyahadah III : adalah tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalam hal ini bila seseorang telah fana’ sempurna, yakni dirinya telah lebur dan yang baqa hanyalah wujud Allah.

Ada pula yang mengatakan musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :“Rasakanlah mati sebelum engkau mati”.

Dalam kitab Hikam Abu Mu’jam dikatakan : “Barangsiapa tidak merasai mati, niscaya ia tidak dapat melihat musyahadah dengan Al-Haqq Ta’ala”.

Sedangkan yang dimaksud mati dalam pengertian ini adalah hidupnya hati. Dan tiada saat kehidupan hati melainkan pada saat matinya nafsu. Jadi arti mati sebenarnya dalam pengertian ini adalah matinya nafsu. Selanjutnya dalam kitab Al-Hakim, Abu Abbas berkata : “tiada jalan masuk/musyahadah dengan Allah kecuali melalui dua pintu : salah satu daripada pintu itu adalah pintu fana’ul akbar, yaitu mati “tabi’I” dan daripada pintu fana menurut pengertian ahli-ahli tashawwuf”.

Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati) dapat ditempuh pada 4 tingkat, yaitu :

Mati Tabi'i

Menurut sebagian ahli thareqat, bahwa “mati tabi’I” terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi dalam dzikir lataif. Dan mati tabi’I ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah.

Pintu pertama ini, dilalui pada saat seseorang dalam melakukan dzikir qalbi dalam dzikir lathaif. Maka dengan karunia Allah ia fana/lenyap pandangannya secara lahir dalam mana telinga bathin mendengar Allah Allah Allah. Pada tingkat ini, dzikir qalbi mula-mulanya hati berdzikir, kemudian dari hati kemulut dimana lidah berdzikir jalan sendiri. Dalam hal ini alam perasaan mulai hilang (mati tabi’i)

Pada saat seperti ini akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai ilham yang tiba-tiba. Nur Ilahi terbit dalam hati yang hadir dengan Allah. Telinga bathin mendengar : “yang naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan Allah, Allah”.

Dalam tanjakan-tanjakan bathin seperti ini, seseorang/salik mulai memasuki pintu fana’ pertama yang dinamakan : “Fana Fil Af’al” dan Tajalli fil Af’al dimana gerak dan diam adalah pada Allah : “Tiada fi’il (gerak dan diam) melainkan Allah”.

Mati Ma’nawi

Menurut sebagian ahli-ahli thariqah, bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir lathifatur ruh dalam dzikir lathaif. Terjadinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata bathin menguasai penglihatan.

Dzikir Allah, Allah pada tingkat ini semakin meresap terus pada diri dimana dzikir sudah terasa panasnya disekujur tubuh dan disetiap bulu roma badan. Perasaan keinsanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan telah lebur diliputi sifat ketuhanan.

Dalam tingkat ini, seorang salik telah memasuki fana’ kedua yang dinamakan : “Fana’ Fissifat”. Sifat kebaharuan dan kekurangan serta alam perasaan lenyap/fana dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang sempurna dan azali. “tiada hidup selain Allah”.

Mati Suri

Seterusnya ialah yang dinamakan “mati suri”. Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir Lathifatus Sirri dalam Dzikir Lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang Salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana, alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan Nurcahaya. Dalam pada ini, yang baqa’ adalah Nurullah semata-mata. Nur Af’alullah, Nur Shufatullah, Nur Asmaullah dan Nur Dzatullah dan Nurun Ala Nurin. Firman Allah : “Cahaya atas cahaya Allah mengkurnia dengan Nurnya siapa-siapa yang ia kehendaki”.

“Tiada yang dipuji melainkan Allah”.

Mati Hissi

Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang /Salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir Lathaif. Pada tingkat keempat ini, seorang/salik telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai “ma’rifat” sebagai maqam tertinggi.

Dalam pada ini, fana’lah/lenyapnya segala sifat-sifat keinsanan yang baru dan yang tinggal hanyalah sifat-sifat Tuhan yang Qadim, azali. Ketika itu menanjaklah bathin keinsanan lebur kedalam kebaqaan Allah yang qadim – bersatu abid dan ma’bud. Dalam tingkat puncak tertinggi ini, seorang salik telah mengalami keadaan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, tidak pernah terlintas dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin disifati. Tetapi akan mengerti sendiri, siapa-siapa yang telah merasai.

“Siapa yang belum pernah merasai ia belum mengenalnya”.

Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah. Karena siapa saja yang menghiasi dhahirnya dengan mujahadah niscaya Allah memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.

Apabila seseorang telah mendapatkan karunia dari Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariyah, nampaklah Nur Allah atau Tajalli

LIMA TAHAP KEIMANAN

5 tahap keimanan:

1) Iman Taqlid
Iman ikut-ikut atau Iman 'pak turut'.Orang yang beriman Taqlid,pegangan Islamnya tidak kuat dan prinsip Islamnya tidak kukuh.Dia tidak ada alasan yang kuat mengapa dia beriman.Dia ada dalil-dalil akal dan Al-Quran/as-Sunnah untuk membuktikan keyakinannya.Mengikut qaul yang lebih jelas,Iman Taqlid ini tidak sah.Segala amal ibadat orang yang beriman Taqlid adalah tertolak dan tidak mendapat pahala di sisi Allah Taala.

2) Iman Ilmu
Iman berdasarkan Ilmu.Iaitu seorang yang telah mempelajari tentang Allah,Malaikat2,Rasul2 dan Nabi,Kitab2,hari Qiamat dan lain-lain yang diwajibkan mengimaninya.Iman dan keyakinannya berasa dan kuat bertunjang pada akal.Iqtikadnya disertai dengan dalil-dalil yang kuat serta pegangan yang kukuh.Dia tidak mudah goyang atau terpengaruh dengan ideologi lain.
Tetapi orang yang beriman Ilmu,tidak takut akan Allah Taala dan mudah berbuat derhaka kepada-Nya.Mereka juga hanya mampu memperkatakan Islam,tetapi tidak mampu berbuat atau mengamalkannya.jadi,Iman Ilmu belum lagi dapat menyelamatkan seseorang itu dari neraka Allah.

3) Iman 'Ayyan
Hasil daripada tarbiyah dan mujahadah yang bersungguh-sungguh orang yang beriman Ilmu akan meningkat kepada Iman 'Ayyan.Imannya bertempat di hati,bukan lagi di fikiran.Hati orang-orang yang beriman 'Ayyan sentiasa mengingati Allah, ibadahnya khusyu' dan ia sentiasa merasa kebesaran Allah Taala.Pabila disebut nama Allah, gementar hatinya.
Semua perintah Allah Taala dipatuhi dengan penuh rela dan kesungguhan.Ia terlalu sensitif dengan dosa serta sangat berakhlak dengan Allah dan manusia.Setiap ujian dihadapi dengan penuh sabar.Ia juga sentiasa mendapat bantuan dan pertolongan dari Allah Taala.Orang yang berada di peringkat Iman 'Ayyan tidak lama dihisab di Akhirat dan ia mudah masuk Syurga.

4) Iman Haq
Seseorang yang mencapai Iman Haq,mata hatinya melihat Allah Taala.Ertinya setiap kali melihat kejadian dan kebesaran Allah Taala,hati dan fikirannya tertumpu kepada Allah.tersa takut dan hebat kepada Allah setiap masa.Hatinya tidak lekang mengingati Allah dan sentiasa karam serta khusyu' dalam kesyahduan cinta pada Rabb.
Hatinya tidak terpaut dengan dunia dan ia tidak dapat dilalaikan oleh nafsu mahupun Iblis laknatullah.Mereka yang beriman 'Ayyan digelar Muqarrobin oleh Allah Taala,yakni orang yang hampir dengan-Nya.

5) Iman Hakikat
Inilah peringkat iman yang paling sempurna dan tertinggi yang dimiliki oleh Rasul2, Nabi2,khulafa' ar-Rasyideen serta wali-wali besar.Mereka akan ditempatkan oleh Allah Taala di dalam Syurga yang paling tinggi.Hidup mereka setiap masa asyik dangan ibadah.Ibadah mereka cukup hebat, solat sunat paling kurang 300 rakaat sehari semalam.Budi serta akhlak adalah yang terbaik dan paling terpuji.
Allah Taala akan menurunkan barakah di mana sahaja mereka berada.Mereka digelar golongan 'superscale' Akhirat.Hidup dalam Syurga yang maha Indah lagi maha lazat.Allah mengurniakan yang sedemikian itu sebagai membalas cinta dan pengorbanan hakiki yang cukup besar semata-mata kerana Allah !
Di manakah tahap keimanan kita ?Sama-samalah kita sentiasa memuhasabah diri serta mempertingkatkan keimanan kita dengan mengerjakan amalan kebaikan dengan bersungguh-sungguh,iltizam dan istiqomah.Berbahagialah dengan berita gembira dari Allah Taala dalam surah Ali Imran, ayat 139 :

Maksud :Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah(pula) kamu bersedih hati,padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi(darjatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.

TUNDUKKAN HAWA NAFSU


Firman Allah SWT:
ٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِـــنِين
"Wallazina jahadu fina lanahdiyannahum subulana, wainnallaha lama’al muhsinin."
Bermaksud: "Mereka yang berjuang untuk melawan hawa nafsu kerana menempuh jalan Kami, sesungguhnya Kami akan tunjukkan jalan Kami. Sesungguhnya Allah itu berserta dengan orang yang berbuat baik."
(Al Ankabut: 69)
Syeikh Ibn Ata’illah dalam kitab Al-Hikam menerusi katanya: “Bagaimana akan terang hati seseorang yang segala gambaran dunia itu terpahat dalam cermin hatinya? Atau bagaimanakah dia akan mengembara menuju kepada Allah padahal ia terbelenggu oleh nafsu syahwatnya?

Mujahadah bermaksud berusaha untuk melawan dan menundukkan kehendak hawa nafsu. Istilah “mujahadah” berasal daripada kata “al-jihad” iaitu berusaha segala kesungguhan, kekuatan dan kesanggupan pada jalan yang diyakini benar.
Baginda Nabi Muhammad S.A.W juga bersabda: Seorang mujahid iaitu seorang yang berjihad ialah dia yang melawan hawa nafsunya kerana Allah.
Dengan kata yang lain, seorang yang bermujahadah dengan rela meninggalkan apa yang disukainya demi memburu sesuatu yang diyakininya benar, baik dan betul. Sedangkan nafsu itu sebahagian daripada diri kita yang sentiasa ingin menghancurkan diri kita.
Inilah maksud kata-kata Imam Al-Ghazali: “Antara tanda kecintaan hamba kepada Allah ialah dia mengutamakan perkara yang disukai Allah daripada kehendak nafsu serta peribadi, sama ada dalam aspek zahir atau batin.”
Mujahadah melawan hawa nafsu ialah menempuh tiga langkah seperti berikut:
1. Takhalli
2. Tahalli
3. Tajalli
Ketiga-tiga peringkat ini hendaklah dilakukan dengan melaksanakan latihan-latihan rohaniah yang dinamakan riadhatunnafsi yakni latihan untuk melawan atau menentang atau memerangi semua kehendak-kehendak nafsu yang jahat. Caranya ialah dengan membuat latihan menolak segala kemahuan jahat yang ditimbulkan oleh nafsu.
1. Takhalli
Maksudnya mengosongkan atau membuang atau menyucikan hati dari sifat-sifat yang keji. Di peringkat ini, kita mesti melawan dan membuang secara paksa dan terus menerus semua kehendak nafsu yang rendah (jahat) dan yang dilarang oleh Allah. Selagi kita tidak membenci, memusuhi dan membuang kehendak-kehendak tersebut jauh-jauh secara paksa dan terus menerus, maka nafsu jahat itu akan sentiasa menguasai dan memperhambakan kita.
Apabila nafsu jahat dibiarkan menguasai kita, iman tidak akan ada tempat di hati. Bila iman tidak ada, manusia bukan lagi menyembah Allah tetapi akan menyembah hawa nafsunya. Oleh itu, usaha melawan hawa nafsu jangan diambil ringan. Ia adalah satu jihad yang besar.

2. Tahalli
Maksudnya mengisi atau menghiasi dengan sifat-sifat terpuji. Setelah kita mujahadah mengosongkan hati dari sifat-sifat mazmumah atau sifat-sifat keji, segera pula kita hiasi hati kita itu dengan sifat-sifat mahmudah atau terpuji. Untuk ini, sekali lagi kita perlu bermujahadah. Untuk membuang sifat-sifat mazmumah dari hati perlu mujahadah. Untuk mengisi hati dengan sifat-sifat mahmudah pun perlu mujahadah. Kalau tidak, iman tidak akan wujud dalam hati kerana iman itu berdiri di atas sifat-sifat mahmudah.

3. Tajalli
Maksudnya terasa kebesaran dan kehebatan Allah atau keadaan sentiasa rasa bertuhan. Ia adalah sebagai hasil dari mujahadah. Selepas peringkat takhalli dan tahalli, kita akan memperolehi tajalli. Ia satu perasaan yang datang sendiri tanpa perlu diusahakan lagi. Agak sukar untuk menggambarkan perasaan ini dengan bahasa tetapi secara ringkas, secara mudah dan secara asasnya, ia adalah rasa bertuhan, rasa dilihat dan diawasi oleh Tuhan, hati seakan-akan celik, hidup, nampak dan terasa kebesaran Allah. Ingatan dan kerinduan tertuju kepada Allah.
Hati tenggelam dalam kebesaran-Nya atau dalam kecintaan pada-Nya. Harapan dan pergantungan hati tidak ada pada yang lain lagi selain Allah. Apa sahaja masalah hidup dihadapi dengan tenang dan bahagia. Tidak ada apa-apa kesusahan dalam hidup. Yang baik mahupun yang buruk dirasakan sebagai hadiah dari Tuhan. Dunia terasa bagaikan Syurga. Inilah kebahagiaan yang sejati dan abadi iaitu kebahagiaan hati.
Berdepan dengan musuh yang zahir, tidak ada jalan lain melainkan ‘berperang’ dengannya. Cuma berperang dengan musuh batin berbeza dengan musuh zahir, justeru musuh zahir dapat dilihat dan tipu dayanya dapat dinilai dengan akal dan mata.
Tegasnya, musuh zahir agak lebih mudah didekati daripada musuh batin. Perang melawan musuh batin khususnya hawa nafsu adalah peperangan yang jauh lebih hebat dari peperangan zahir. Mengapa dikatakan demikian?
Ini kerana medan peperangan kedua-dua musuh ini berlaku dalam diri kita. Serangan, tikaman dan ledakannya berlaku dalam diri kita. Walaupun tidak kedengaran dentumannya tetapi bisanya lebih berkesan. Justeru, ramai manusia yang mampu mengalahkan musuh zahir tetapi gagal mengalahkan hawa nafsunya sendiri.
Ramai yang tahu dan mahu melakukan kebaikan. Sayangnya, selalu gagal untuk melaksanakannya. Ramai yang tidak mahu melakukan kejahatan tapi sering terdorong melakukannya. Mengapa?
Kita seolah-olah hilang kuasa untuk mengawal diri kita sendiri. Semacam ada kuasa yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita ini. Kita sebenarnya sentiasa diburu malah dibelenggu oleh dua musuh yang sentiasa mendorong ke arah kejahatan. Musuh itu ialah syaitan dan hawa nafsu. Apa sahaja kejahatan, pasti dalangnya adalah hawa nafsu.
Tiga prinsip asas kaedah melawan nafsu. Tiga kaedah ini telah digariskan oleh ulama pakar dalam meneliti perjalanan hati dan nafsu manusia. Dalam kitab Minhajul Abidin misalnya, Imam Ghazali telah menggariskan tiga prinsip asas berikut:-
i) Menahan atau menyekat sumber kekuatan nafsu.
Nafsu yang diumpamakan kuda yang liar itu boleh dijinakkan dengan syarat ditahan sumber yang memberikannya tenaga. Jadi, nafsu boleh dikawal dengan menahan makan (berpuasa). Oleh sebab itulah dalam Islam kita diwajibkan berpuasa sebulan dalam setahun. Dan digalakkan juga berpuasa sunat hari-hari tertentu. Malah mereka yang belum mampu berkahwin, Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan mereka menjinakkan nafsu seks dengan berpuasa.
Selain menahan perut daripada banyak makan, ada lagi beberapa sumber kekuatan nafsu yang perlu disekat. Antaranya, menahan pandangan (mata) daripada yang haram, telinga daripada mendengar sesuatu yang berdosa, mulut daripada berkata-kata yang dilarang, hati daripada sifat-sifat mazmumah dan lain-lain. Semua ini perlu diketahui dengan cara belajar. Ilmu yang berkaitan dengan menjaga pancaindera inilah yang dimaksudkan dalam ilmu tasawuf sebagai akhlak. Hukum mempelajarinya, fardhu ain bagi setiap mukhallaf.
ii) Membebankan nafsu itu dengan ibadah.
Setelah nafsu yang diumpamakan sebagai kuda liar itu disekat sumber kekuatannya, langkah seterusnya ialah dengan dibebankan ibadah tertentu terutamanya ibadah khusus yang berbentuk fardhu dan sunat. Solat terutamanya, sangat diperlukan dalam kaedah ini semata-mata untuk ‘menyeksa’ nafsu. Bukan sahaja solat lima waktu tetapi solat malam (qiamulalil) sangat berkesan untuk menundukan hawa nafsu.
Begitu juga dengan zikrullah yang lain seperti membaca Al-Quran serta wirid-wirid tertentu (yakni yang bersumberkan Al-Quran, hadis-hadis sahih dengan tunjuk ajar dan didikan syeikh atau guru yang benar serta mendapat petunjuk (mursyid). Begitu juga dengan amalan sedekah, kerja-kerja amal, mengajar, belajar dan lain-lain amal kebajikan. Pokok pangkalnya, bebankanlah nafsu kita dengan ibadah hingga ia merasa letih untuk melakukan kejahatan. Ingatlah nafsu itu tidak pernah puas dan kehendanya tidak terbatas, maka ibadah yang dapat menundukkannya hendaknya begitu juga. Jangan terbatas dan jangan dibatasi oleh rasa puas.
iii) Berdoa minta bantuan Allah untuk menewaskan nafsu.
Usaha menentang hawa nafsu hendaklah dimulakan, diiringi dan disudahi dengan berdoa kepada Allah. Nafsu itu makhluk Allah, maka Allah sahaja yang mampu memudahkan diri manusia untuk menguasai dirinya sendiri (nafsu). Bahkan, usaha awal kita untuk memperbaiki diri perlulah dimulai dengan membentuk komunikasi dan interaksi yang harmoni dengan Ilahi.
Hubungan ini dibentuk melalui doa. Jika Allah permudahkan, jalan mujahadah yang payah akan menjadi mudah. Bantuan Allah inilah yang sangat kita dambakan. Malah inilah pesan Rasululllah S.A.W kepada Muaz bin Jabal dengan katanya:-
“Wahai Muaz, aku sangat cinta kepadamu. Maka selepas kau mengerjakan solat jangan sekali-kali kau lupa berdoa kepada Allah dengan doa ini: “Ya Allah, bantulah aku mengingati-Mu, bantulah aku mensyukuri nikmat-Mu dan bantulah aku untuk mmperbaiki ibadah kepada-Mu.”
Banyak lagi doa-doa yang dianjurkan oleh Rasulullah S.A.W dalam bermujahadah melawan hawa nafsu ini. Antara doanya itu ialah: “Ya Allah, Ya Tuhanku, berilah aku taqwa, dan bersihkanlah diriku. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik yang membersihkan. Engkaulah pelindungku dan pemimpinku.”
Kesimpulannya:-
Imam Ghazali berpesan nafsu tidak dapat dikalahkan dengan tergesa-gesa. Kehendaknya tidak boleh ditekan sekali gus melainkan perlu ditahan secara berperingkat-peringkat. Sabda Rasulullah S.A.W:
“Amalan yang baik ialah amalan yang berterusan sekalipun sedikit.”
Latihan menundukkan hawa nafsu ini perlu dilaksanakan sedikit demi sedikit tetapi istiqamah dan jangan pula sekadar “hangat-hangat tahi ayam”. Selain itu hendaklah bermujahadah dalam beramal. Dalam beramal sudah tentu ada halangan-halangannya, ada ujian-ujiannya dan ada pula cabarannya yang banyak. Jika tidak kuat mujahadah atau melawan nafsu, maka kita akan mudah terasa jemu. Bila ada sesuatu yang menghalang dan jika pada masa itu kita tidak kuat mujahadah, langsung kita tinggalkan ibadah itu kerana terasa berat. Mujahadah memerangi nafsu ini kena buat sungguh-sungguh.
Said Hawa dalam kitabnya Al-Asas fit Tafsir: Secara dasarnya melawan hawa nafsu bermaksud menundukkan nafsu agar ia mengikut kehendak Allah dalam setiap perkara. Apabila nafsu dapat dikalahkan seseorang akan mengutamakan perkara yang dicintai Allah dan mengetepikan kehendak peribadi.
Seseorang yang mencintai Allah sanggup memikul kerja-kerja yang sukar serta sanggup melawan hawa nafsunya kerana Allah. Dia tidak akan sanggup melakukan sesuatu yang maksiat. Berhubung dengan ini Abdullah ibnu Mubarak berkata, 'Jika cintamu benar, kamu akan mentaatiNya kerana seseorang yang mencintai sesuatu sanggup mentaati sesuatu.'
Perjuangan untuk melawan hawa nafsu bukanlah suatu yang mudah. Imam Al-Ghazali dalam Raudatut Talibin berkata, 'Berhati-hatilah kamu dengan hawa nafsu. Ia adalah musuh kita yang paling ketat dan yang paling sukar untuk dikalahkan.
Firman Allah dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bermaksud: 'Aku (Allah) telah sediakan bagi hambaKu yang soleh itu nikmat yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengari oleh telinga dan tidak pernah dirasai oleh hati manusia.'
http://mengukirtujuhcahaya.blogspot.com/2011/04/tundukkan-hawa-nafsu.html
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...