Friday, February 10, 2012

QANAAH


Qana’ah artinya ridha dengan sedikitnya pemberian dari Allah. Karena itu ada sebagian ahli tasawuf mengatakan, bahwa seorang hamba adalah sama seperti orang merdeka bila ia ridha atas segala pemberian, dan seorang merdeka sama seperti seorang hamba bila bersifat thama (rakus). Sebagaimana dikatakan dalam syair :

“Seorang hamba menjadi merdeka bila ia ridha (menerima apa adanya) dan seorang merdeka menjadi budak bila ia minta-minta. Maka terimalah apa adanya, janganlah meminta-minta, tiada sesuatu yang tercela selain rakus (thama).”

Menurut Prof. Dr. Hamka dalam bukunya “Tashawwuf Modern”.Qana’ah ialah menerima cukup. Qana’ah itu mengandung lima perkara, yaitu :

  1. Menerima dengan rela apa yang ada.
  2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha.
  3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
  4. Bertawakkal kepada Tuhan
  5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Orang yang mempunyai sifat qana’ah adalah orang menerima apa saja yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Ia tidak akan tergiur oleh kemewahan atau kekayaan yang dimiliki orang lain, karena dirinya sudah merasa cukup. Dia sebenarnya sudah merasa kaya dari apa yang dimilikinya. Karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah tergantung pada banyaknya harta, melainkan sifat menerima yang dimilikinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa”.

Maksud hadist ini adalah, bahwa jiwa yang sudah merasa kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu loba dan cemburu, bukan orang yang minta lebih terus-terusan. Karena kalau masih meminta tambah, tandanya masih kurang.

Rasulullah SAW bersabda pula :

“Qana’ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap” (HR. Thabrani dari Jabir)

Tokoh shufi Hasan Bashri mengemukakan masalah qana’ah yang ditemukan dalam kitab Taurat dengan katanya : “5 Kalimat disimpan dan dimuat dalam Taurat, yaitu :

  1. Kecukupan disimpan dalam qana’ah.
  2. Keselamatan berada dalam uzlah (mengasingkan diri).
  3. Kebebasan didalam mengekang syahwat.
  4. Mahabbah (cinta) didalam menyisihkan keinginan.
  5. Kegembiraan kekal didalam sabar (sementara hidup di dunia).

Dari gambaran ini, dapat dengan jelas diambil pelajaran, bahwa kecukupan seseorang adalah tergantung dari perasaan menerima apa adanya, tanpa ingin tambah terus menerus yang menandakan masih adanya kekurangan. Karena itu seseorang hendaknya mau memandang kepada yang lebih rendah dalam urusan harta. Hanya dengan jalan inilah, perasaan sudah cukup bisa dimiliki seseorang. Tidak terus menerus ingin bertambah harta kekayaannya.

Lebih dari itu, haruslah disadari bahwasannya harta benda yang ditumpuk-tumpuk tidak akan dibawah ke liang kubur, tapi akhirnya hanya ditinggalkan pada ahli warisnya sementara diakhirat masih diminta pertanggung jawabannya.

Perasaan seseorang yang memiliki qana’ah itu bagaikan seorang lapar kehausan ditengah perjalanan di terpa panas matahari, namun tiba-tiba secara kebetulan menemukan air. Sungguh bahagia sekali perasaannya saat menemukan air itu. Bahkan ada satu sya’ir menggambarkan masalah ini, yaitu :

“Sesungguhnya keridhaan (menerima apa adanya) itu bagaikan minuman yang sangat pahit, yang dirasakan orang yang menerima ketika merasakan kesusahan. Balasan keridhaan akan tampak dimasa datang, tidaklah usaha sedikit akan menghasilkan yang banyak”.

Maka barangsiapa yang telah memperoleh rizki dan telah cukup untuk dimakan pada waktu pagi, siang dan petang, hendaklah hati merasa tenang dan cukup. Orang Islam tidak dilarang bekerja mencari harta kekayaan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan memang orang Islam tidak diperbolehkan berpangku tangan, hidup meminta-minta dan sebagainya. Bekerjalah dengan giat dengan ibadah dan melaksanakan kewajiban agama.

Menurut pandangan kaum shufi, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya diatas. Begitu pula qana’ah yang dimaksud disini adalah qana’ah hati, bukan qana’ah ikhtiar, jadi berusaha dengan cukup, bekerja dengan giat, sebab hidup berarti bekerja, jangan sekali-kali ragu menghadapi hidup.

Qana’ah adalah basis menghadapi hidup, menerbitkan kesungguhan hidup, menimbulkan energi kerja untuk mencari rizqi, jadi berikhtiar dan juga percaya akan taqdir yang diperoleh sebagai hasil.(Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

IKHLAS


Manusia diciptakan oleh Allah SWT. Hanyalah untuk beribadah kepadaNya menurut syariat atau aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Begitu pula dalam ibadah kepada Allah haruslah disesuaikah dengan garis-garis yang telah ditetapkan syariat serta hanyalah diniatkan semata-semata karena Allah dan mengharapkan ridhoNya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Namun sayang sekali, kadang-kadang ada sebagian diantara manusia itu ada yang menyimpang jauh dari tujuan diciptakannya semula, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Selama hidupnya tidak dipergunakan ibadah, tapi hanyalah diisi dengan perbuatan-perbuatan maksiat, selalu melanggar larangan-larangan Allah dan lebih tragis lagi, ada yang mengkufuri atau mengingkari adanya Allah dan juga menetang syariatNya secara terang-terangan.

Selain itu, masih ada lagi yang lebih tragis lagi nasibnya, yaitu orang yang lahirnya sudah melaksanakan ibadah dan juga sudah meyakini kebenaran ibadahnya, namun salah dalam pelaksanaannya. Ibadahnya melenceng dari tujuan dan tidak sesuai dengan tuntunan Allah. Dalam hal ini adalah niat ibadahnya tidak benar, yakni tidak sesuai dengan tuntunan Allah. Niat ibadahnya tidak ditujukan semata-mata karena Allah, namun ditujukan dan diniatkan kepada yang lainnya. Ibadahnya tidak semata-mata ditujukan kepada Allah dan mengharapkan ridhoNya, tapi demi mengharapkan pujian, sanjungan ataupun ingin dilihat oleh orang lain.

Dalam pandangan shufi, beribadah seperti itu tidak akan berhasil guna, bahkan sia-sia saja. Sebab tidak dilakukan secara ikhlas karena Allah. Ibadah seperti itu tidak akan diterima oleh Allah. Ibadah yang diterima oleh Allah adalah ibadah yang dilakukan secara ikhlas dan benar. Ikhlas artinya semata-mata ditujukan kepada Allah dan benar artinya dilakukan sesuai dengan syariatNya.

Beribadah secara ikhlas menurut definisi para ulama shufi adalah tidak ingin seseorang amalnya yang baik dilihat orang lain, apalagi diperlihatkan, tidak jauhnya seperti dia melakukan kejahatan yang tidak ingin diketahui masyarakat. Sebagian ulama shufi yang lain menekankan pada dasar ikhlas yaitu tidak ingin dipuji oleh orang lain.

Bagi pandangan kaum shufi, ibadah dan ikhlas tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya, selalu saling kait mengkait antara yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini, bila diibaratkan bagaikan tubuh, maka ikhlas adalah rohnya. Ibadah yang tidak dilakukan dengan ikhlas bagaikan tubuh tanpa roh alias bangkai. Jika bangkai itu dibiarkan lama kelamaan akan membawa penyakit yang amat berbahaya. Hal ini disebabkan keberadaan ikhlas adalah sebagai sumber motivasi ibadah seseorang, sekaligus jantung dan nyawanya. Tanpa rasa ikhlas ibadah seseorang tidak akan berlangsung lama. Tergantung musim dan lingkungannya. Jika lingkungannya mendorong untuk beribadah, maka semangatnya timbul. Sebaliknya bila sepi dari rangsangan atau dorongan tertentu, lemah dan malas. Lain halnya dengan ibadah yang dilakukan dengan ikhlas, dia akan terus beribadah tanpa menunggu dorongan atau rangsangan dari lingkungannya. Ada orang yang melihat atau tidak, dicela atau dipuji, sendirian ataupun bersama banyak orang, tetap saja melakukan ibadah sesuai dengan dorongan hati nuraninya yang semata-mata mengharapkan pujian dan sanjungan dari Allah SWT.

Bila dalam diri kita masih terdapat perasaan, rangsangan dan dorongan yang ditimbulkan dari lingkungan sekitarnya dalam melaksanakan ibadah, misalnya ingin dilihat orang lain, dipuji dan disanjung-sanjung dan lain sebagainya, berarti secara tidak sadar, diri kita sudah terjebak dalam lumpur riya’. Lebih jelasnya bisa dilihat dari ciri-ciri seseorang yang terjangkit penyakit riya’. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW :

Empat macam tanda bukti orang yang riya’, yaitu :

  1. Malas ketika sedang sendirian.
  2. Sangat tangkas/giat dihadapan orang banyak.
  3. Amal ibadahnya meningkat ketika dipuji.
  4. Menurun ketika perilaku/ibadahnya dicela.

Empat macam ciri inilah yang dapat dipergunakan untuk mengoreksi diri dalam setiap melaksanakan ibadah, dengan tujuan agar terhindar dari penyakit riya’. Dan dengan bekal ilmu tentang ciri-ciri riya’ ini, maka seseorang dapat mengoreksi dirinya barangkali sudah kerasukan penyakit yang sangat berbahaya ini. Apabila seseorang senantiasa melakukan koreksi terhadap gejala-gejala riya’ ini, akan senantiasa terhindar dari kehancuran amal ibadahnya, sehingga semua amal ibadahnya akan diterima oleh Allah SWT. Mengingat bila kita terjebak kedalam penyakit riya’ amal ibadah yang telah dilakukan tidak membawa manfaat sama sekali, karena ditolak oleh Allah. Lebih celaka lagi akan dimasukkan oleh Allah kedalam neraka jahannam.

Gambaran yang lebih jelas mengenai sifat riya’ yang menggerogoti amal sholeh dan membawa kesia-siaan dan kehancuran. Sifat riya’pada akhirnya hanyalah membawa penyesalan bagi pelakunya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadistnya yang panjang yang artinya sebagai berikut : “Ketika tiba saat hari kiamat, Allah memutuskan semua urusan makhluqnya, semuanya tunduk kepadaNya, yang dipanggil adalah pembaca Al-Quran, lalu ditanyakan kepadanya : “Kamu telah mempelajari apa yang telah diwahyukan kepada utusanKu?” Jawabnya : “Ya Tuhan”, “lalu apa yang kamu amalkan didalamnya?” “aku membacanya dimalam ataupun disiang hari”. Kemudian Allah dan malaikat-Nya menyanggahnya : “kamu telah berbohong, karena semua itu kamu lakukan hanya karena dipuji orang, dan itu sudah terlaksana di dunia”. Yang kedua ialah para hartawan, lalu ditanyakan kepadanya : “Harta yang Aku berikan kepadamu, kau buat untuk apa saja?” Jawabnya : “Kubelanjakan demi menyambung sanak famili dan disedekahkan”. Lalu disanggah oleh Allah dan malaikatNya : “Kamu bohong karena semua itu kamu lakukan agar kamu disebut dermawan, dan itu sudah terlaksana”.Yang ketiga adalah orang mati sabil (syahid), berperang dijalan Allah, lalu ditanyakan kepadanya : “Kenapa kamu terbunuh?” jawabnya : “Berperang fi sabilillah”. Lalu disanggah oleh Allah dan para MalaikatNya : “Kamu bohong, karena tujuanmu supaya kamu disebut pahlawan yang gagah berani, dan hal semacam itu sudah terlaksana di dunia”.

Kata Abu Hurairah : “Lalu Rasulullah SAW. Menepuk lututku seraya bersabda : “Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling awal disiksa dineraka”. Dan ketika Muawiyah mendengarnya, langsung menangis dan berkata : “Sungguh benar Allah dan RasulNya, dia sitir Al-quran Surat Hud 15-16 :

“Barang siapa (tujuan amalnya) hanya menghendaki kesenangan dan keindahan dunia, pasti kami sempurnakan balasannya didunia, sedikitpun tidak dikurangi. Itulah orang-orang yang tidak ada balasannya diakhirat, kecuali neraka, lenyaplah semua amal usahanya dan sia-sialah pekerjaannya”.

Begitulah akhirnya perjalanan amal yang tidak disertai niat yang ikhlas. Amal perbuatannya tidak mendapatkan pahala sama sekali, karena ditolak oleh Allah. Pada akhirnya sangat memprihatinkan sekali karena harus dimasukkan kedalam neraka jahannam, Na’udzu billah.(Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

http://www.bulbulmukhtar.org/berita-209-ikhlas.html

MEMELIHARA WAKTU


Bagi seorang sufi wajib mempergunakan waktu seluruhnya untuk melaksanakan ketaatan kepada syariat agama Alah dan meninggalkan banyaknya pembiraan yang tiada berguna. Sabda Rasulullah SAW : “diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tiada berguna”.

Maka jikalau kita mengetahui diri kita dalam bergaul dengan sesama manusia dan ngobrol tanpa adanya suatu kebutuhan dan tujuan penting. Berarti sudah termasuk dalam kesia-siaan dan menggiring pada keangkuhan hati. Maka dari itu, bila seseorang melanggengkan dalam ibadah akan menemukan manisnya munajat kepada Allah. Hendaklah senang membaca dan mempelajari kitab Allah dan jangan sampai menyibukkan diri dengan sesama makhluq dengan berkomplot dan berbicara tanpa membawa manfaat apa-apa. Maka hendaklah jangan sampai mempergunakan waktu secara sembrono yang akibatnya akan membawa pada kerugian yang amat besar. Perlu diketahui bahwa waktu adalah merupakan umur kita, umur adalah sama saja dengan harta dan dagangan kita dan dengan memanfaatkan umur sebaik-baiknya akan sampailah kita pada kenikmatan yang kekal abadi di sisi Allah.

Maka setiap jiwa dari jiwa-jiwa kita adalah merupakan permata yang tiada ternilai harganya. Jika gagal atau putus ditengah jalan, maka tak akan bisa diharapkan untuk kembali lagi. Karena itu, seyogyanya tidaklah disibukkan waktu sehari-hari kecuali untuk menambah ilmu, beramal sholeh karena hanya dengan keduanya (ilmu dan amal sholeh) nanti bisa menjadi teman abadi dialam kubur saat dimana kita meninggalkan keluarga, harta, anak-anak dan para sahabat kita.

Hendaklah semua kegiatan yang menyita waktu kita diniatkan seluruhnya untuk beribadah. Satu misal makan. Janganlah hanya ingin mencari kelezatan dan mengenakkan tidur, tapi haruslah diniatkan supaya kuat dalam beribadah, kuat dalam melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah keluarga dan melakukan kegiatan sosial lainnya.

Ketahuilah bahwa perkara yang melipat gandakan pahala adalah tergantung niatnya, seperti duduk-duduk di masjid diniatkan I’tikaf, niat menunggu sholat, niat khalwat dari beberapa kesibukan hati, uzlah dari manusia, niat berdzikir, membaca Al-quran dan berniat memelihara pendengaran, penglihatan dan lisan dari apa saja yang tidak berguna dan niat memakmurkan masjid dengan dzikrullah. Maka sebaiknya semua manusia dalam setiap geraknya diniatkan untuk ibadah dan melakukan amal shaleh, jangan sampai melakukan perbuatan sia-sia disebabkan tanpa dibarengi niat ibadah lebih dulu.

Manusia hendaknya dapat membagi waktu dengan baik dan tepat. Misalnya selesai melaksanakan sholat shubuh berjama’ah dilanjutkan dengan berdzikir dengan membaca wirid-wirid tertentu, doa-doa dan diusahakan sebelum sholat shubuh, melakukan sholat sunah fajar 2 raka’at. Waktu berdzikir dilanjutkan sampai terbitnya matahari, dan dilanjutkan sholat dhuha beberapa raka’at menurut kemampuannya. Setelah itu langsung melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai dengan bidangnya masing-masing, hingga batas waktu yang ditentukan.

Pada malam hari misalnya, hendaknya jangan sampai waktu terbuang dengan percuma tanpa kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya. Dan sekurang-kurang waktu malam hari dibagi menjadi tiga bagian. Sebagian untuk memperdalam ilmu agama dan pengetahuan lainnya, sepertiga untuk tidur dan sepertiga akhir untuk berdzikir kepada Allah. Bisa dilakukan dengan melaksanakan sholat tahajud, sholat tasbih, sholat hajat dan melakukan istighotsah memohon segala hajatnya kepada Allah.

Lebih penting lagi dalam mengisi waktu ini adalah penekanan pada kegiatan sholat jama’ah pada saat tiba waktunya sholat wajib. Hendaknya pahala shalat jamaah menjadi pendorong semangatnya untuk melakukan taqarrub kepada Allah. Mengingat sarana berhubungan dan puncak dzikir umat Islam adalah dengan melaksanakan sholat fardhu lima waktu sehari semalam. Disamping menambah lagi dengan sholat-sholat sunat, baik qabliyah maupun ba’diyah.

Selain itu, tidak boleh dilupakan pula membaca Al-quran dalam sehari semalam diluar waktu shalat. Bisa sehari membaca satu juz, satu surat, satu maqra’sekalipun. Sebab ibadah utama umat Islam selain shalat adalah juga membaca Al-quran. Lebih-lebih kalau dapat mengkaji makna dan kandungan isinya. Juga dilengkapi berbagai macam ilmu yang mendukungnya, seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh, tafsirnya dan sebagainya.

Pendek kata, hendaknya orang Islam selama hayatnya tidak sam pai menyia-nyiakan waktu sedikitpun, tanpa digunakan untuk beribadah, bertaqarrub dengan Allah, sehingga hidup ini benar-benar manfaat, selamat dan bahagia. (Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

http://www.bulbulmukhtar.org/berita-213-memelihara-waktu.html

MUSYAHADAH

Tercapainya musyahadah ini adalah dengan adanya mujahadah dalam beramal. Terjadinya keadaan yang demikian ini apabila seseorang sudah berada dalam maqam fana’, yakni penglihatannya hanya ditujukan kepada Allah semata-mata. Karena pada hakikatnya wujud hakiki yang kekal hanyalah Allah, sedang wujud lain tiada lagi.

Maka hanya orang yang mau menghiasi diri dengan mujahadah dengan senantiasa dzikrullah dan membersihkan hatinya saja yang dapat mencapai musyahadah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah :“Barangsiapa menghiasi dirinya dhahirnya dengan mujahadah, niscaya Allah memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.”

Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan adanya kehadiran Allah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah :“Al-Musyahadah adalah kehadiran Allah”.

Kehadiran tingkat musyahadah ini adalah didahului dengan kehadiran hati dihadapan Allah dan beserta Allah atau yang dinamakan huduurul qalbi. Mengingat Allah dengan sepenuh hati artinya hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ketingkat mukasyafah atau terbukanya rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghaib. Maksudnya tersingkaplah rahasia alam ghaib.

Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat Al-Musyahadah. Menurut Al-Junaid adalah : Al-Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada”. Dalam kitab Iqazhul Himam dikatakan : “Al-Musyahadah adalah terbukanya hijab alam perasaan dari pancaran nur yang suci, yaitu tersingkapnya tabir pemeliharaan Alam wujud. Ketika itu engkau melihat Dzatullah dalam Alam Ghaib/Alam Malakut. Dan Allah melihat kamu dalam alam wujud/alam mulkihi. Ketika itu engkau melihat rahasia ketuhanannya dan Allah pun melihat pengabdianmu. Dan adapun pandangan Tuhan terhadap hambanya, adalah meliputi ilmunya, ahwalnya dan rahasia-rahasiaNya”.

Maksudnya adalah Allah mengetahui, apa-apa yang diketahui hambanya, dan apa-apa yang diperbuat hambanya dan apa-apa yang terguris dalam hati sanubari hambaNya.

Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Terjadinya melalui tiga tahap, yaitu :

Nur Musyahada I : adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seseorang merasa muraqabah/berintai-intaian dengan Allah.

Nur Musyahada II : adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni, hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.

Nur Musyahadah III : adalah tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalam hal ini bila seseorang telah fana’ sempurna, yakni dirinya telah lebur dan yang baqa hanyalah wujud Allah.

Ada pula yang mengatakan musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :“Rasakanlah mati sebelum engkau mati”.

Dalam kitab Hikam Abu Mu’jam dikatakan : “Barangsiapa tidak merasai mati, niscaya ia tidak dapat melihat musyahadah dengan Al-Haqq Ta’ala”.

Sedangkan yang dimaksud mati dalam pengertian ini adalah hidupnya hati. Dan tiada saat kehidupan hati melainkan pada saat matinya nafsu. Jadi arti mati sebenarnya dalam pengertian ini adalah matinya nafsu. Selanjutnya dalam kitab Al-Hakim, Abu Abbas berkata : “tiada jalan masuk/musyahadah dengan Allah kecuali melalui dua pintu : salah satu daripada pintu itu adalah pintu fana’ul akbar, yaitu mati “tabi’I” dan daripada pintu fana menurut pengertian ahli-ahli tashawwuf”.

Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati) dapat ditempuh pada 4 tingkat, yaitu :

Mati Tabi'i

Menurut sebagian ahli thareqat, bahwa “mati tabi’I” terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi dalam dzikir lataif. Dan mati tabi’I ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah.

Pintu pertama ini, dilalui pada saat seseorang dalam melakukan dzikir qalbi dalam dzikir lathaif. Maka dengan karunia Allah ia fana/lenyap pandangannya secara lahir dalam mana telinga bathin mendengar Allah Allah Allah. Pada tingkat ini, dzikir qalbi mula-mulanya hati berdzikir, kemudian dari hati kemulut dimana lidah berdzikir jalan sendiri. Dalam hal ini alam perasaan mulai hilang (mati tabi’i)

Pada saat seperti ini akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai ilham yang tiba-tiba. Nur Ilahi terbit dalam hati yang hadir dengan Allah. Telinga bathin mendengar : “yang naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan Allah, Allah”.

Dalam tanjakan-tanjakan bathin seperti ini, seseorang/salik mulai memasuki pintu fana’ pertama yang dinamakan : “Fana Fil Af’al” dan Tajalli fil Af’al dimana gerak dan diam adalah pada Allah : “Tiada fi’il (gerak dan diam) melainkan Allah”.

Mati Ma’nawi

Menurut sebagian ahli-ahli thariqah, bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir lathifatur ruh dalam dzikir lathaif. Terjadinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata bathin menguasai penglihatan.

Dzikir Allah, Allah pada tingkat ini semakin meresap terus pada diri dimana dzikir sudah terasa panasnya disekujur tubuh dan disetiap bulu roma badan. Perasaan keinsanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan telah lebur diliputi sifat ketuhanan.

Dalam tingkat ini, seorang salik telah memasuki fana’ kedua yang dinamakan : “Fana’ Fissifat”. Sifat kebaharuan dan kekurangan serta alam perasaan lenyap/fana dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang sempurna dan azali. “tiada hidup selain Allah”.

Mati Suri

Seterusnya ialah yang dinamakan “mati suri”. Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir Lathifatus Sirri dalam Dzikir Lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang Salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana, alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan Nurcahaya. Dalam pada ini, yang baqa’ adalah Nurullah semata-mata. Nur Af’alullah, Nur Shufatullah, Nur Asmaullah dan Nur Dzatullah dan Nurun Ala Nurin. Firman Allah : “Cahaya atas cahaya Allah mengkurnia dengan Nurnya siapa-siapa yang ia kehendaki”.

“Tiada yang dipuji melainkan Allah”.

Mati Hissi

Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang /Salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir Lathaif. Pada tingkat keempat ini, seorang/salik telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai “ma’rifat” sebagai maqam tertinggi.

Dalam pada ini, fana’lah/lenyapnya segala sifat-sifat keinsanan yang baru dan yang tinggal hanyalah sifat-sifat Tuhan yang Qadim, azali. Ketika itu menanjaklah bathin keinsanan lebur kedalam kebaqaan Allah yang qadim – bersatu abid dan ma’bud. Dalam tingkat puncak tertinggi ini, seorang salik telah mengalami keadaan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, tidak pernah terlintas dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin disifati. Tetapi akan mengerti sendiri, siapa-siapa yang telah merasai.

“Siapa yang belum pernah merasai ia belum mengenalnya”.

Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah. Karena siapa saja yang menghiasi dhahirnya dengan mujahadah niscaya Allah memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.

Apabila seseorang telah mendapatkan karunia dari Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariyah, nampaklah Nur Allah atau Tajalli

LIMA TAHAP KEIMANAN

5 tahap keimanan:

1) Iman Taqlid
Iman ikut-ikut atau Iman 'pak turut'.Orang yang beriman Taqlid,pegangan Islamnya tidak kuat dan prinsip Islamnya tidak kukuh.Dia tidak ada alasan yang kuat mengapa dia beriman.Dia ada dalil-dalil akal dan Al-Quran/as-Sunnah untuk membuktikan keyakinannya.Mengikut qaul yang lebih jelas,Iman Taqlid ini tidak sah.Segala amal ibadat orang yang beriman Taqlid adalah tertolak dan tidak mendapat pahala di sisi Allah Taala.

2) Iman Ilmu
Iman berdasarkan Ilmu.Iaitu seorang yang telah mempelajari tentang Allah,Malaikat2,Rasul2 dan Nabi,Kitab2,hari Qiamat dan lain-lain yang diwajibkan mengimaninya.Iman dan keyakinannya berasa dan kuat bertunjang pada akal.Iqtikadnya disertai dengan dalil-dalil yang kuat serta pegangan yang kukuh.Dia tidak mudah goyang atau terpengaruh dengan ideologi lain.
Tetapi orang yang beriman Ilmu,tidak takut akan Allah Taala dan mudah berbuat derhaka kepada-Nya.Mereka juga hanya mampu memperkatakan Islam,tetapi tidak mampu berbuat atau mengamalkannya.jadi,Iman Ilmu belum lagi dapat menyelamatkan seseorang itu dari neraka Allah.

3) Iman 'Ayyan
Hasil daripada tarbiyah dan mujahadah yang bersungguh-sungguh orang yang beriman Ilmu akan meningkat kepada Iman 'Ayyan.Imannya bertempat di hati,bukan lagi di fikiran.Hati orang-orang yang beriman 'Ayyan sentiasa mengingati Allah, ibadahnya khusyu' dan ia sentiasa merasa kebesaran Allah Taala.Pabila disebut nama Allah, gementar hatinya.
Semua perintah Allah Taala dipatuhi dengan penuh rela dan kesungguhan.Ia terlalu sensitif dengan dosa serta sangat berakhlak dengan Allah dan manusia.Setiap ujian dihadapi dengan penuh sabar.Ia juga sentiasa mendapat bantuan dan pertolongan dari Allah Taala.Orang yang berada di peringkat Iman 'Ayyan tidak lama dihisab di Akhirat dan ia mudah masuk Syurga.

4) Iman Haq
Seseorang yang mencapai Iman Haq,mata hatinya melihat Allah Taala.Ertinya setiap kali melihat kejadian dan kebesaran Allah Taala,hati dan fikirannya tertumpu kepada Allah.tersa takut dan hebat kepada Allah setiap masa.Hatinya tidak lekang mengingati Allah dan sentiasa karam serta khusyu' dalam kesyahduan cinta pada Rabb.
Hatinya tidak terpaut dengan dunia dan ia tidak dapat dilalaikan oleh nafsu mahupun Iblis laknatullah.Mereka yang beriman 'Ayyan digelar Muqarrobin oleh Allah Taala,yakni orang yang hampir dengan-Nya.

5) Iman Hakikat
Inilah peringkat iman yang paling sempurna dan tertinggi yang dimiliki oleh Rasul2, Nabi2,khulafa' ar-Rasyideen serta wali-wali besar.Mereka akan ditempatkan oleh Allah Taala di dalam Syurga yang paling tinggi.Hidup mereka setiap masa asyik dangan ibadah.Ibadah mereka cukup hebat, solat sunat paling kurang 300 rakaat sehari semalam.Budi serta akhlak adalah yang terbaik dan paling terpuji.
Allah Taala akan menurunkan barakah di mana sahaja mereka berada.Mereka digelar golongan 'superscale' Akhirat.Hidup dalam Syurga yang maha Indah lagi maha lazat.Allah mengurniakan yang sedemikian itu sebagai membalas cinta dan pengorbanan hakiki yang cukup besar semata-mata kerana Allah !
Di manakah tahap keimanan kita ?Sama-samalah kita sentiasa memuhasabah diri serta mempertingkatkan keimanan kita dengan mengerjakan amalan kebaikan dengan bersungguh-sungguh,iltizam dan istiqomah.Berbahagialah dengan berita gembira dari Allah Taala dalam surah Ali Imran, ayat 139 :

Maksud :Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah(pula) kamu bersedih hati,padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi(darjatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.

TUNDUKKAN HAWA NAFSU


Firman Allah SWT:
ٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِـــنِين
"Wallazina jahadu fina lanahdiyannahum subulana, wainnallaha lama’al muhsinin."
Bermaksud: "Mereka yang berjuang untuk melawan hawa nafsu kerana menempuh jalan Kami, sesungguhnya Kami akan tunjukkan jalan Kami. Sesungguhnya Allah itu berserta dengan orang yang berbuat baik."
(Al Ankabut: 69)
Syeikh Ibn Ata’illah dalam kitab Al-Hikam menerusi katanya: “Bagaimana akan terang hati seseorang yang segala gambaran dunia itu terpahat dalam cermin hatinya? Atau bagaimanakah dia akan mengembara menuju kepada Allah padahal ia terbelenggu oleh nafsu syahwatnya?

Mujahadah bermaksud berusaha untuk melawan dan menundukkan kehendak hawa nafsu. Istilah “mujahadah” berasal daripada kata “al-jihad” iaitu berusaha segala kesungguhan, kekuatan dan kesanggupan pada jalan yang diyakini benar.
Baginda Nabi Muhammad S.A.W juga bersabda: Seorang mujahid iaitu seorang yang berjihad ialah dia yang melawan hawa nafsunya kerana Allah.
Dengan kata yang lain, seorang yang bermujahadah dengan rela meninggalkan apa yang disukainya demi memburu sesuatu yang diyakininya benar, baik dan betul. Sedangkan nafsu itu sebahagian daripada diri kita yang sentiasa ingin menghancurkan diri kita.
Inilah maksud kata-kata Imam Al-Ghazali: “Antara tanda kecintaan hamba kepada Allah ialah dia mengutamakan perkara yang disukai Allah daripada kehendak nafsu serta peribadi, sama ada dalam aspek zahir atau batin.”
Mujahadah melawan hawa nafsu ialah menempuh tiga langkah seperti berikut:
1. Takhalli
2. Tahalli
3. Tajalli
Ketiga-tiga peringkat ini hendaklah dilakukan dengan melaksanakan latihan-latihan rohaniah yang dinamakan riadhatunnafsi yakni latihan untuk melawan atau menentang atau memerangi semua kehendak-kehendak nafsu yang jahat. Caranya ialah dengan membuat latihan menolak segala kemahuan jahat yang ditimbulkan oleh nafsu.
1. Takhalli
Maksudnya mengosongkan atau membuang atau menyucikan hati dari sifat-sifat yang keji. Di peringkat ini, kita mesti melawan dan membuang secara paksa dan terus menerus semua kehendak nafsu yang rendah (jahat) dan yang dilarang oleh Allah. Selagi kita tidak membenci, memusuhi dan membuang kehendak-kehendak tersebut jauh-jauh secara paksa dan terus menerus, maka nafsu jahat itu akan sentiasa menguasai dan memperhambakan kita.
Apabila nafsu jahat dibiarkan menguasai kita, iman tidak akan ada tempat di hati. Bila iman tidak ada, manusia bukan lagi menyembah Allah tetapi akan menyembah hawa nafsunya. Oleh itu, usaha melawan hawa nafsu jangan diambil ringan. Ia adalah satu jihad yang besar.

2. Tahalli
Maksudnya mengisi atau menghiasi dengan sifat-sifat terpuji. Setelah kita mujahadah mengosongkan hati dari sifat-sifat mazmumah atau sifat-sifat keji, segera pula kita hiasi hati kita itu dengan sifat-sifat mahmudah atau terpuji. Untuk ini, sekali lagi kita perlu bermujahadah. Untuk membuang sifat-sifat mazmumah dari hati perlu mujahadah. Untuk mengisi hati dengan sifat-sifat mahmudah pun perlu mujahadah. Kalau tidak, iman tidak akan wujud dalam hati kerana iman itu berdiri di atas sifat-sifat mahmudah.

3. Tajalli
Maksudnya terasa kebesaran dan kehebatan Allah atau keadaan sentiasa rasa bertuhan. Ia adalah sebagai hasil dari mujahadah. Selepas peringkat takhalli dan tahalli, kita akan memperolehi tajalli. Ia satu perasaan yang datang sendiri tanpa perlu diusahakan lagi. Agak sukar untuk menggambarkan perasaan ini dengan bahasa tetapi secara ringkas, secara mudah dan secara asasnya, ia adalah rasa bertuhan, rasa dilihat dan diawasi oleh Tuhan, hati seakan-akan celik, hidup, nampak dan terasa kebesaran Allah. Ingatan dan kerinduan tertuju kepada Allah.
Hati tenggelam dalam kebesaran-Nya atau dalam kecintaan pada-Nya. Harapan dan pergantungan hati tidak ada pada yang lain lagi selain Allah. Apa sahaja masalah hidup dihadapi dengan tenang dan bahagia. Tidak ada apa-apa kesusahan dalam hidup. Yang baik mahupun yang buruk dirasakan sebagai hadiah dari Tuhan. Dunia terasa bagaikan Syurga. Inilah kebahagiaan yang sejati dan abadi iaitu kebahagiaan hati.
Berdepan dengan musuh yang zahir, tidak ada jalan lain melainkan ‘berperang’ dengannya. Cuma berperang dengan musuh batin berbeza dengan musuh zahir, justeru musuh zahir dapat dilihat dan tipu dayanya dapat dinilai dengan akal dan mata.
Tegasnya, musuh zahir agak lebih mudah didekati daripada musuh batin. Perang melawan musuh batin khususnya hawa nafsu adalah peperangan yang jauh lebih hebat dari peperangan zahir. Mengapa dikatakan demikian?
Ini kerana medan peperangan kedua-dua musuh ini berlaku dalam diri kita. Serangan, tikaman dan ledakannya berlaku dalam diri kita. Walaupun tidak kedengaran dentumannya tetapi bisanya lebih berkesan. Justeru, ramai manusia yang mampu mengalahkan musuh zahir tetapi gagal mengalahkan hawa nafsunya sendiri.
Ramai yang tahu dan mahu melakukan kebaikan. Sayangnya, selalu gagal untuk melaksanakannya. Ramai yang tidak mahu melakukan kejahatan tapi sering terdorong melakukannya. Mengapa?
Kita seolah-olah hilang kuasa untuk mengawal diri kita sendiri. Semacam ada kuasa yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita ini. Kita sebenarnya sentiasa diburu malah dibelenggu oleh dua musuh yang sentiasa mendorong ke arah kejahatan. Musuh itu ialah syaitan dan hawa nafsu. Apa sahaja kejahatan, pasti dalangnya adalah hawa nafsu.
Tiga prinsip asas kaedah melawan nafsu. Tiga kaedah ini telah digariskan oleh ulama pakar dalam meneliti perjalanan hati dan nafsu manusia. Dalam kitab Minhajul Abidin misalnya, Imam Ghazali telah menggariskan tiga prinsip asas berikut:-
i) Menahan atau menyekat sumber kekuatan nafsu.
Nafsu yang diumpamakan kuda yang liar itu boleh dijinakkan dengan syarat ditahan sumber yang memberikannya tenaga. Jadi, nafsu boleh dikawal dengan menahan makan (berpuasa). Oleh sebab itulah dalam Islam kita diwajibkan berpuasa sebulan dalam setahun. Dan digalakkan juga berpuasa sunat hari-hari tertentu. Malah mereka yang belum mampu berkahwin, Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan mereka menjinakkan nafsu seks dengan berpuasa.
Selain menahan perut daripada banyak makan, ada lagi beberapa sumber kekuatan nafsu yang perlu disekat. Antaranya, menahan pandangan (mata) daripada yang haram, telinga daripada mendengar sesuatu yang berdosa, mulut daripada berkata-kata yang dilarang, hati daripada sifat-sifat mazmumah dan lain-lain. Semua ini perlu diketahui dengan cara belajar. Ilmu yang berkaitan dengan menjaga pancaindera inilah yang dimaksudkan dalam ilmu tasawuf sebagai akhlak. Hukum mempelajarinya, fardhu ain bagi setiap mukhallaf.
ii) Membebankan nafsu itu dengan ibadah.
Setelah nafsu yang diumpamakan sebagai kuda liar itu disekat sumber kekuatannya, langkah seterusnya ialah dengan dibebankan ibadah tertentu terutamanya ibadah khusus yang berbentuk fardhu dan sunat. Solat terutamanya, sangat diperlukan dalam kaedah ini semata-mata untuk ‘menyeksa’ nafsu. Bukan sahaja solat lima waktu tetapi solat malam (qiamulalil) sangat berkesan untuk menundukan hawa nafsu.
Begitu juga dengan zikrullah yang lain seperti membaca Al-Quran serta wirid-wirid tertentu (yakni yang bersumberkan Al-Quran, hadis-hadis sahih dengan tunjuk ajar dan didikan syeikh atau guru yang benar serta mendapat petunjuk (mursyid). Begitu juga dengan amalan sedekah, kerja-kerja amal, mengajar, belajar dan lain-lain amal kebajikan. Pokok pangkalnya, bebankanlah nafsu kita dengan ibadah hingga ia merasa letih untuk melakukan kejahatan. Ingatlah nafsu itu tidak pernah puas dan kehendanya tidak terbatas, maka ibadah yang dapat menundukkannya hendaknya begitu juga. Jangan terbatas dan jangan dibatasi oleh rasa puas.
iii) Berdoa minta bantuan Allah untuk menewaskan nafsu.
Usaha menentang hawa nafsu hendaklah dimulakan, diiringi dan disudahi dengan berdoa kepada Allah. Nafsu itu makhluk Allah, maka Allah sahaja yang mampu memudahkan diri manusia untuk menguasai dirinya sendiri (nafsu). Bahkan, usaha awal kita untuk memperbaiki diri perlulah dimulai dengan membentuk komunikasi dan interaksi yang harmoni dengan Ilahi.
Hubungan ini dibentuk melalui doa. Jika Allah permudahkan, jalan mujahadah yang payah akan menjadi mudah. Bantuan Allah inilah yang sangat kita dambakan. Malah inilah pesan Rasululllah S.A.W kepada Muaz bin Jabal dengan katanya:-
“Wahai Muaz, aku sangat cinta kepadamu. Maka selepas kau mengerjakan solat jangan sekali-kali kau lupa berdoa kepada Allah dengan doa ini: “Ya Allah, bantulah aku mengingati-Mu, bantulah aku mensyukuri nikmat-Mu dan bantulah aku untuk mmperbaiki ibadah kepada-Mu.”
Banyak lagi doa-doa yang dianjurkan oleh Rasulullah S.A.W dalam bermujahadah melawan hawa nafsu ini. Antara doanya itu ialah: “Ya Allah, Ya Tuhanku, berilah aku taqwa, dan bersihkanlah diriku. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik yang membersihkan. Engkaulah pelindungku dan pemimpinku.”
Kesimpulannya:-
Imam Ghazali berpesan nafsu tidak dapat dikalahkan dengan tergesa-gesa. Kehendaknya tidak boleh ditekan sekali gus melainkan perlu ditahan secara berperingkat-peringkat. Sabda Rasulullah S.A.W:
“Amalan yang baik ialah amalan yang berterusan sekalipun sedikit.”
Latihan menundukkan hawa nafsu ini perlu dilaksanakan sedikit demi sedikit tetapi istiqamah dan jangan pula sekadar “hangat-hangat tahi ayam”. Selain itu hendaklah bermujahadah dalam beramal. Dalam beramal sudah tentu ada halangan-halangannya, ada ujian-ujiannya dan ada pula cabarannya yang banyak. Jika tidak kuat mujahadah atau melawan nafsu, maka kita akan mudah terasa jemu. Bila ada sesuatu yang menghalang dan jika pada masa itu kita tidak kuat mujahadah, langsung kita tinggalkan ibadah itu kerana terasa berat. Mujahadah memerangi nafsu ini kena buat sungguh-sungguh.
Said Hawa dalam kitabnya Al-Asas fit Tafsir: Secara dasarnya melawan hawa nafsu bermaksud menundukkan nafsu agar ia mengikut kehendak Allah dalam setiap perkara. Apabila nafsu dapat dikalahkan seseorang akan mengutamakan perkara yang dicintai Allah dan mengetepikan kehendak peribadi.
Seseorang yang mencintai Allah sanggup memikul kerja-kerja yang sukar serta sanggup melawan hawa nafsunya kerana Allah. Dia tidak akan sanggup melakukan sesuatu yang maksiat. Berhubung dengan ini Abdullah ibnu Mubarak berkata, 'Jika cintamu benar, kamu akan mentaatiNya kerana seseorang yang mencintai sesuatu sanggup mentaati sesuatu.'
Perjuangan untuk melawan hawa nafsu bukanlah suatu yang mudah. Imam Al-Ghazali dalam Raudatut Talibin berkata, 'Berhati-hatilah kamu dengan hawa nafsu. Ia adalah musuh kita yang paling ketat dan yang paling sukar untuk dikalahkan.
Firman Allah dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bermaksud: 'Aku (Allah) telah sediakan bagi hambaKu yang soleh itu nikmat yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengari oleh telinga dan tidak pernah dirasai oleh hati manusia.'
http://mengukirtujuhcahaya.blogspot.com/2011/04/tundukkan-hawa-nafsu.html

Saturday, February 4, 2012

AL QURAN & AMAL SALIH PENEMAN KETIKA AJAL DATANG MENJEMPUT


TIMBUL KEINSAFAN: Rasulullah SAW menyuruh umatnya mengamalkan ziarah kubur. Tidaklah pelik jika kita membawa ahli keluarga bersama bagi mengingati mati, bahkan yang pelik adalah membawa anak ke tempat melalaikan. – Gambar hiasan

Ummah wajar hindar kelalaian kerana punca ia penyesalan di akhirat

SESIAPA yang tahu bilakah ajalnya datang tentu akan mengalami tekanan akal dan perasaan. Tetapi Allah menjadikan manusia bersifat lupa dan lalai terhadap kematian. Bayangkanlah jika semua manusia tahu hari atau jam berapa dia akan mati, tentu porak-peranda dunia ini.

Kematian adalah misteri yang tidak akan terpecah dengan fahaman rasional semata. Manusia perlukan iman untuk melalui perjalanan menuju kematian dengan reda dan bersedia.

Abdullah bin Mas’ud berkata, Nabi SAW melukis empat segi untuk kami. Di tengahnya Baginda membuat garisan dan dekat garisan itu Baginda melukis beberapa garisan lain. Baginda juga membuat garisan di luar kemudian bersabda yang bermaksud: “Apakah kamu tahu apa ini? Kami menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.

Baginda bersabda: “Ini adalah insan (garisan yang di tengah), ini adalah ajal dan ia mengepungnya. Ini adalah beberapa hal baru (garisan yang di sekitarnya), ia menggigitnya. Jika luput terhadapnya ajal ini, maka manusia digigit oleh beberapa hal baru ini. Dan yang ini adalah angan-angan (beberapa garisan di luar).” (Hadis riwayat Imam al-Bukhari)

Sesungguhnya manusia sudah terkepung oleh ajalnya, tetapi mereka mengejar angan-angan yang tidak sudah. Betapa kita ditertawakan oleh takdir, ke mana saja kita pergi dan apa saja keinginan, semuanya kembali kepada qada dan qadar-Nya.

Jadi mengapa manusia melupakan kematian? Bukankah akan sampai saat matanya ditutup dan tidak boleh dibuka kembali, nafas dihirup tidak dapat dihembus lagi, saat kaki kanan melangkah dan belum pasti yang kiri akan sampai, saat menyuap rezeki yang belum tentu dapat ditelannya?

Betapa berharganya masa diberikan Tuhan kepada manusia, mungkin seminggu atau sehari lagi ajal akan datang, segala kemungkinan boleh berlaku di mana saja. Di atas jalan raya atau di pasar, di masjid atau dalam kamar, di bumi mana dia dijemput, tiada siapa yang tahu.

Jika ditanya bilakah kamu mahu membuat persediaan menghadap Allah, maka mereka menjawab: “Tunggulah hari tua nanti, sekarang aku mahu kumpulkan harta sebanyak-banyaknya supaya senang beribadah di kala tua.”

Selepas datangnya tanda mati, gugurnya gigi, tumbuhnya uban dan datang pula penyakit yang melemahkan tubuh badannya, maka orang tua ini pun berdolak-dalih: “Aku sakit, tak boleh sembahyang, tak wajib puasa, zakat dan sedekah pula tak payahlah keluarkan sebab anak aku perlukan rumah dan banyak hutang pula, lebih baik hulurkan kepada mereka hartaku ini, orang tua yang kedekut akan menerima padah nanti, bagaimana jika anak aku tidak mahu memelihara aku? Ada duit anak pun datang tak ada duit tinggallah aku keseorangan.”

Lalu dia menganggap baik kelalaian atas sebab uzur, maka dihembuslah ke dalam hatinya tipu daya syaitan yang menyuruh untuk bersangka baik kepada Allah secara yang silap, bukankah Allah maha penyayang?

Dia tidak akan menyeksa hambanya yang uzur. Atas sebab dan alasan kelemahan jasadnya dia tinggalkan amal, ketepikan ilmu dan tutup pintu hatinya untuk beribadah. Tetapi agenda memuaskan hawa nafsunya tetap berjalan, makan tidak mahu berpantang, jika berhibur mengalahkan orang muda.

Siang sampai ke malam dihabiskan di hadapan televisyen. Al-Quran dilupa, sembahyang pula tidak ingat. Datang pula penyakit hati yang biasa menyerang orang tua seperti, sedih, risau, cepat terasa hati dan menyangka buruk kepada sesiapa dikenali seperti anak atau menantu dan cucu-cicit. Begitulah belitan syaitan menguasai insan yang malang.

Allah berfirman mengenai keadaan manusia sebegini yang bermaksud:

“Dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah dan kamu sudah ditipu terhadap Allah oleh syaitan yang amat penipu.” (Surah al-Hadid, ayat 14)

Kelalaian adalah penyakit yang dideritai setiap insan. Ia lebih merbahaya daripada segala penyakit di dunia ini kerana setiap penyakit ada ubatnya dan hanya memberi impak pendek serta sementara. Tetapi kelalaian akan menghasilkan penyesalan selama-lamanya pada akhirat kelak.

Bagi orang muda, biasanya kesihatan dan kenikmatan duniawi menjadi faktor membuat mereka tertipu. Semasa sihat, banyak masa kosong dan harta masih berlonggok, amat malas beribadat kerana saat itu manusia berada dalam zon selesa. Jika ujian dan musibah datang barulah hati tergerak ingat kepada dosa dan berubah taat merapati Allah.

Jika cepat sedar, alangkah bersyukurnya orang memiliki jiwa seperti ini, dia sentiasa berwaspada daripada tipu daya syaitan. Tetapi jika terlalu asyik dengan nikmat dunia hingga lupa segala-galanya, musibah sekeras apapun tak akan menggoyahkan hatinya untuk tunduk kepada Allah.

Untuk mendidik jiwa supaya sentiasa merasai pendeknya usia tentu amatlah susah melainkan dengan latihan yang terancang dengan baik. Latihan mengingati mati boleh dilakukan dengan pembacaan dan kajian yang lebih mendalam mengenainya.

Ilmu penting untuk membentuk suatu penghayatan yang sempurna. Ayat al-Quran dan hadis membincangkan hari akhirat, hidup sesudah mati dan pembalasan syurga serta seksa neraka boleh melembutkan hati manusia dan menjaganya dalam lingkungan celik iman.

Rasulullah SAW juga menyuruh umatnya untuk mengamalkan ziarah kubur. Tidaklah pelik jika kita membawa ahli keluarga bersama singgah ke tanah perkuburan bagi mengingati mati, bahkan yang pelik adalah membawa anak ke tempat melalaikan.

Di perkuburan kita disyariatkan untuk mengucapkan salam dan berdoa untuk saudara kita dengan harapan supaya keinsafan sebati dalam jiwa yang selalu lalai dan sedar atas segala kejahatan diri kerana apabila berada dalam kubur, tiada siapa boleh membantu.

Senang sungguh jika membayangkan mahu membina rumah dengan kos yang tinggi, sudah tentulah ia harus dibayar dengan jerih payah yang menyeksa jiwa, tetapi susah sangat hendak membuat persediaan membina rumah idaman di dalam kubur yang lebih indah.

Manusia boleh berbangga dengan istana yang bermandikan cahaya kristal gemerlapan, tetapi yang hanya boleh menerangi kuburnya hanyalah al-Quran dan amal salih yang dicintai ketika di dunia ini.

INTI PATI
Kematian

  • Kematian adalah misteri yang tidak akan terpecah dengan fahaman rasional semata. Manusia perlukan iman untuk melalui perjalanan menuju kematian dengan reda dan bersedia.
  • Sesungguhnya manusia sudah terkepung oleh ajalnya, tetapi mereka mengejar angan-angan yang tidak sudah. Betapa kita ditertawakan takdir, ke mana saja kita pergi dan apa saja keinginan, semuanya kembali kepada qada dan qadar-Nya.
  • Betapa berharganya masa diberikan Tuhan kepada manusia, mungkin seminggu atau sehari lagi ajal akan datang, segala kemungkinan boleh berlaku di mana saja. Di atas jalan raya atau di pasar, di masjid atau dalam kamar, di bumi mana dia dijemput, tiada siapa yang tahu.
  • Siang sampai ke malam dihabiskan di hadapan televisyen. Al-Quran dilupa, sembahyang pula tidak ingat. Datang pula penyakit hati yang biasa menyerang orang tua seperti, sedih, risau, cepat terasa hati dan menyangka buruk kepada sesiapa dikenali seperti anak atau menantu dan cucu-cicit. Begitulah belitan syaitan menguasai insan yang malang.
  • Bagi orang muda, biasanya kesihatan dan kenikmatan duniawi menjadi faktor membuat mereka tertipu.
  • Untuk mendidik jiwa supaya sentiasa merasai pendeknya usia tentu amatlah susah melainkan dengan latihan yang terancang dengan baik. Latihan mengingati mati boleh dilakukan dengan pembacaan dan kajian yang lebih mendalam mengenainya.
  • Ayat al-Quran dan hadis membincangkan hari akhirat, hidup sesudah mati dan pembalasan syurga serta seksa neraka boleh melembutkan hati manusia dan menjaganya dalam lingkungan celik iman.

- Penulis ialah pendakwah dari Sarawak dan boleh dihubungi menerusi juanda72@hotmail.com

TUJUH TINGKAT NERAKA


NERAKA berasal perkataan Ibrani bermaksud unggun api menjadi tempat seksaan Allah yang dikhususkan untuk golongan ingkar kepada perintah-Nya ketika di dunia.

Di neraka, orang kafir termasuk golongan yang ingkar perintah Allah diseksa sebagai pembalasan seperti dijanjikan Allah SWT dalam firman bermaksud:

“Wahai orang beriman jagalah dirimu, keluargamu daripada api neraka. Bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Sedangkan penjaganya adalah malaikat yang gagah lagi bengis. Mereka tidak menderhaka Allah, mereka melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya.” (Surah At-Tahrim: 6)

Api neraka berjuta kali panasnya berbanding api di dunia. Jika api itu jatuh ke bumi, walaupun sebesar hama, hancur lebur dunia ini. Itulah kepanasan api neraka yang tiada tolok bandingnya.

Tujuh nama neraka menanti golongan yang mendustai dan mengingkari perintah Allah SWT. Pembahagian tingkatan neraka menurut Syeikh Dahak Al-Ahbar yang kemudian dipersetujui ahli tafsir dan Usuluddin, antaranya Syeikh Qurthubi dan Imam Al-Ghazali ialah:

  • Neraka Jahanam. Tingkat teratas. Neraka ini bermula dari tingkat paling atas sehingga ke terakhir (bawah). Ia seburuk-buruknya dan penghuni kekal di dalamnya.

Firman Allah SWT bermaksud: “Katakan kepada orang kafir; nanti kamu akan dikalahkan oleh orang Islam dan dihimpunkan kamu dalam Neraka Jahanam. Di sanalah tempat seburuk-buruknya.” (Surah Al-Imran:12)

Begitu juga dalam surah An Nisa, ayat 169, Allah SWT berfirman: “Orang kafir dan orang aniaya, mereka tidak diampunkan Allah dan tidak pula ditunjukkan jalan melainkan ke Neraka Jahanam. Mereka kekal dalam neraka itu selamanya. Yang demikian itu mudah sekali bagi Allah”.

  • Luza adalah tingkat kedua yang dihuni pendusta agama Allah dan berpaling daripada ajarannya.

Firman Allah bermaksud: “Sebab itu Kami beri khabar menakut kamu dengan Neraka Luza (neraka yang menyala-nyala). Tiada yang masuk ke dalamnya melainkan orang celaka, iaitu orang mendustakan agama dan berpaling daripadanya.” (surah Al-Lail: 14-16)

  • Hathamah ialah neraka tingkat ketiga tempat mereka yang lalai dalam mengerjakan perintah Allah kerana dipengaruhi harta dunia.
  • Sair ialah tingkat ke empat neraka dihuni mereka yang makan harta anak yatim. Mata dan telinga mereka menjadi buta dan pekak manakala kulitnya tebal seperti Jabal Uhud.
  • Saqru ialah neraka tingkat kelima, antara penghuninya ialah orang tidak bersolat, percaya kepada perkara bidaah, tidak memberi makan orang miskin dan tidak percaya kepada Hari Pembalasan.
  • Jahim neraka tingkat keenam. Penghuninya melakukan dosa besar seperti berzina, membunuh, mendustai agama Allah dan minum arak.
  • Hawiyah ialah neraka paling bawah menempatkan orang memusuhi Nabi. Walaupun neraka ini paling bawah, apinya sangat panas. Firman Allah SWT bermaksud: “Siapa yang ringan timbangan, dia dilemparkan ke Neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah? Ia adalah api yang sangat panas.” (surah Al-Qariah: 8-11)
http://nurjeehan.hadithuna.com/2009/08/tujuh-tingkat-neraka-sedia-hukuman-setimpal-kesalahan/
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...