Friday, February 10, 2012

MUSYAHADAH

Tercapainya musyahadah ini adalah dengan adanya mujahadah dalam beramal. Terjadinya keadaan yang demikian ini apabila seseorang sudah berada dalam maqam fana’, yakni penglihatannya hanya ditujukan kepada Allah semata-mata. Karena pada hakikatnya wujud hakiki yang kekal hanyalah Allah, sedang wujud lain tiada lagi.

Maka hanya orang yang mau menghiasi diri dengan mujahadah dengan senantiasa dzikrullah dan membersihkan hatinya saja yang dapat mencapai musyahadah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah :“Barangsiapa menghiasi dirinya dhahirnya dengan mujahadah, niscaya Allah memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.”

Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan adanya kehadiran Allah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah :“Al-Musyahadah adalah kehadiran Allah”.

Kehadiran tingkat musyahadah ini adalah didahului dengan kehadiran hati dihadapan Allah dan beserta Allah atau yang dinamakan huduurul qalbi. Mengingat Allah dengan sepenuh hati artinya hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ketingkat mukasyafah atau terbukanya rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghaib. Maksudnya tersingkaplah rahasia alam ghaib.

Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat Al-Musyahadah. Menurut Al-Junaid adalah : Al-Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada”. Dalam kitab Iqazhul Himam dikatakan : “Al-Musyahadah adalah terbukanya hijab alam perasaan dari pancaran nur yang suci, yaitu tersingkapnya tabir pemeliharaan Alam wujud. Ketika itu engkau melihat Dzatullah dalam Alam Ghaib/Alam Malakut. Dan Allah melihat kamu dalam alam wujud/alam mulkihi. Ketika itu engkau melihat rahasia ketuhanannya dan Allah pun melihat pengabdianmu. Dan adapun pandangan Tuhan terhadap hambanya, adalah meliputi ilmunya, ahwalnya dan rahasia-rahasiaNya”.

Maksudnya adalah Allah mengetahui, apa-apa yang diketahui hambanya, dan apa-apa yang diperbuat hambanya dan apa-apa yang terguris dalam hati sanubari hambaNya.

Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Terjadinya melalui tiga tahap, yaitu :

Nur Musyahada I : adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seseorang merasa muraqabah/berintai-intaian dengan Allah.

Nur Musyahada II : adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni, hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.

Nur Musyahadah III : adalah tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalam hal ini bila seseorang telah fana’ sempurna, yakni dirinya telah lebur dan yang baqa hanyalah wujud Allah.

Ada pula yang mengatakan musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :“Rasakanlah mati sebelum engkau mati”.

Dalam kitab Hikam Abu Mu’jam dikatakan : “Barangsiapa tidak merasai mati, niscaya ia tidak dapat melihat musyahadah dengan Al-Haqq Ta’ala”.

Sedangkan yang dimaksud mati dalam pengertian ini adalah hidupnya hati. Dan tiada saat kehidupan hati melainkan pada saat matinya nafsu. Jadi arti mati sebenarnya dalam pengertian ini adalah matinya nafsu. Selanjutnya dalam kitab Al-Hakim, Abu Abbas berkata : “tiada jalan masuk/musyahadah dengan Allah kecuali melalui dua pintu : salah satu daripada pintu itu adalah pintu fana’ul akbar, yaitu mati “tabi’I” dan daripada pintu fana menurut pengertian ahli-ahli tashawwuf”.

Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati) dapat ditempuh pada 4 tingkat, yaitu :

Mati Tabi'i

Menurut sebagian ahli thareqat, bahwa “mati tabi’I” terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi dalam dzikir lataif. Dan mati tabi’I ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah.

Pintu pertama ini, dilalui pada saat seseorang dalam melakukan dzikir qalbi dalam dzikir lathaif. Maka dengan karunia Allah ia fana/lenyap pandangannya secara lahir dalam mana telinga bathin mendengar Allah Allah Allah. Pada tingkat ini, dzikir qalbi mula-mulanya hati berdzikir, kemudian dari hati kemulut dimana lidah berdzikir jalan sendiri. Dalam hal ini alam perasaan mulai hilang (mati tabi’i)

Pada saat seperti ini akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai ilham yang tiba-tiba. Nur Ilahi terbit dalam hati yang hadir dengan Allah. Telinga bathin mendengar : “yang naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan Allah, Allah”.

Dalam tanjakan-tanjakan bathin seperti ini, seseorang/salik mulai memasuki pintu fana’ pertama yang dinamakan : “Fana Fil Af’al” dan Tajalli fil Af’al dimana gerak dan diam adalah pada Allah : “Tiada fi’il (gerak dan diam) melainkan Allah”.

Mati Ma’nawi

Menurut sebagian ahli-ahli thariqah, bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir lathifatur ruh dalam dzikir lathaif. Terjadinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata bathin menguasai penglihatan.

Dzikir Allah, Allah pada tingkat ini semakin meresap terus pada diri dimana dzikir sudah terasa panasnya disekujur tubuh dan disetiap bulu roma badan. Perasaan keinsanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan telah lebur diliputi sifat ketuhanan.

Dalam tingkat ini, seorang salik telah memasuki fana’ kedua yang dinamakan : “Fana’ Fissifat”. Sifat kebaharuan dan kekurangan serta alam perasaan lenyap/fana dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang sempurna dan azali. “tiada hidup selain Allah”.

Mati Suri

Seterusnya ialah yang dinamakan “mati suri”. Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir Lathifatus Sirri dalam Dzikir Lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang Salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana, alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan Nurcahaya. Dalam pada ini, yang baqa’ adalah Nurullah semata-mata. Nur Af’alullah, Nur Shufatullah, Nur Asmaullah dan Nur Dzatullah dan Nurun Ala Nurin. Firman Allah : “Cahaya atas cahaya Allah mengkurnia dengan Nurnya siapa-siapa yang ia kehendaki”.

“Tiada yang dipuji melainkan Allah”.

Mati Hissi

Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang /Salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir Lathaif. Pada tingkat keempat ini, seorang/salik telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai “ma’rifat” sebagai maqam tertinggi.

Dalam pada ini, fana’lah/lenyapnya segala sifat-sifat keinsanan yang baru dan yang tinggal hanyalah sifat-sifat Tuhan yang Qadim, azali. Ketika itu menanjaklah bathin keinsanan lebur kedalam kebaqaan Allah yang qadim – bersatu abid dan ma’bud. Dalam tingkat puncak tertinggi ini, seorang salik telah mengalami keadaan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, tidak pernah terlintas dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin disifati. Tetapi akan mengerti sendiri, siapa-siapa yang telah merasai.

“Siapa yang belum pernah merasai ia belum mengenalnya”.

Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah. Karena siapa saja yang menghiasi dhahirnya dengan mujahadah niscaya Allah memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.

Apabila seseorang telah mendapatkan karunia dari Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariyah, nampaklah Nur Allah atau Tajalli

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...